Senin, 30 November 2009

PERPUSTAKAAN; JALAN PANJANG MENGUSUNG PERADABAN

Tinta sejarah, lewat catatan-catatannya menjadi saksi bahwa ada keterkaitan erat antara kemajuan peradaban suatu bangsa dengan munculnya perpustakaan. Logikanya, perpustakaan menjadi mediator munculnya gairah intelektual yang lebih tinggi. Gairah yang tinggi melahirkan ilmuwan-ilmuwan. Dan, ilmuwan-ilmuwan tersebut menjadi titik tolak kemajuan peradaban bangsa.

Dalam catatan sejarah, logika di atas sudah terbukti. Sebenarnya sebelum Masehi, perpustakaan-perpustakaan besar sudah bermunculan. Perpustakaan pertama kali berada di daerah Nipur, pada milenium ketiga sebelum masehi (SM). Selanjutnya pada tahun (668-627 SM), Raja Assiria mendirikan perpustakaan yang berisi sekitar 25.000 buku. Beberapa abad kemudian, di Athena berdiri perpustakaan di sekolah Plato dan Epicurean. Lalu perpustakaan terkenal didirikan oleh Aristoteles. Tahun (295 SM), di daerah Mesir didirikan sebuah pepustakaan yang koleksinya tidak kurang dari 500.000 buku. Di Asia kecil, tepatnya pada masa pemerintahan Attalus (197 SM) dan Eumenes (159 SM) didirikan sebuah perpustakaan yang hampir menandingi perpustakaan Alexanderia di Mesir.

Sebuah kenyataan menarik disini adalah hampir seluruh tempat yang disebut di atas, merupakan daerah yang paling maju peradabannya. Sebut saja kota Athena yang keagungannya masih terasa sampai saat ini. Di kota itulah lahir para filosof kenamaan seperti Socrates, Plato, Aristoteles, Tales,dll. Pemikiran mereka begitu berpengaruh bagi perkembangan dunia dan sampai detik ini, pemikiran-pemikiran mereka masih dipelajari di universitas-universitas dunia, termasuk di Indonesia.

Jika kemajuan peradaban senantiasa ditandai dengan maraknya pepustakaan dan gairah intelektual yang tinggi dari masyarakat bangsa tersebut, sebaliknya, kemerosotan peradaban suatu bangsa, selalu ditandai dengan hancur lebur dan luluhlantaknya perpustakaan. Sekitar abad ke-5 masehi, Roma dihancurkan oleh tentara Barbar Jerman. Perpustakaan umum dan pribadi turut serta dibakar dan diluluhlantakkan. Beberapa data sempat terselamatkan dan diungsikan di gereja-gereja. Sayang, ketika buku-buku itu berpindah ke gereja, ilmu yang semula berkembang secara bebas menjadi tertawan. Maka inilah yang disebut dengan masa Abad Pertengahan (Middle Age). Dunia Barat mengalami kemerosotan pada titik yang paling bawah.

Sementara dunia Barat berada pada masa kegelapan peradaban, maka dunia Islam bangkit. Kesadaran dan kecintaan terhadap ilmu pengetahuan pada jaman itu begitu tinggi. Buktinya, perpustakaan-perpustakaan dengan berbagai jenisnya muncul bertebaran di berbagai wilayah Islam, membidani lahirnya para ulama dan ilmuwan besar Islam, seperti Jabir Ibnu Hayyan, al-Farobi, Ibnu Sina, dll.

Perpustakaan-perpustakaan tersebut adalah tiga puluh enam perpustakaan di Baghdad, yang di antaranya adalah Baitul Hikmah, sebuah kombinasi yang baik dari perpustakaan, akademi dan sarana penerjemahan, yang didirikan oleh Khalifah Abbasiyah, al-Ma`mun, sekitar tahun 318 H; perpustakaan Umar al-Waqidi (736 H) yang diperkirakan memiliki banyak sekali buku yang kalau ditimbang beratnya sama dengan dua puluh ekor unta; Darul Ilmi (991); perpustakaan sekolah tinggi Nidzamiyah (1064); perpustakaan sekolah Mustansiriyyah (1233); perpustkaan al-Baiqani, berisi banyak sekali buku, sehingga untuk mengangkutnya saja membutuhkan enam puluh tiga keranjang dan dua ratus lima puluh koper; dan Perpustakaan Muhammad bin Kamil dengan 10.000 buah buku.

Di Persia, terdapat perpustakaan pribadi milik Nuh bin Mansyur, perpustakaan Ibnu Hamid (w.971), perpustakaan penyair Ibnu Hamdun (w.935), perpustakaan Adud ad-Daulah (982).

Di Kairo, berdiri perpustakaan Baitul Hikmah (998) yang berisi tidak kurang dari 100.000 volume, termasuk 2.400 buah al-Qur’an berhiaskan emas dan perak yang disimpan dalam ruangan terpisah, perpustakaan al-Fadhil (1068), perpustakaan Bin Fatiq, perpustakaan al-Ma’arif berisi ribuan buku dari setiap cabang ilmu pengetahuan.

Di Spanyol, berdiri lebih dari tujuh puluh perpustakaan yang di antaranya adalah perpustakaan Khalifah al-Hakim (976), berisi 600.000 jilid, yang secara hati-hati diseleksi seluruh penyalur buku yang ahli dari semua pasar Islam; perpustakaan Abdul Mutrif (1011), seorang hakim Cordoba yang kebanyakan berisi buku-buku langka.

dan masih banyak lagi perpustakaan-perpustakaan pribadi yang tidak diketahui jumlahnya.

Bisa dikatakan, sejarah keemasan Islam menunjukkan bahwa perpustakaan ternyata bukan hanya rumah baca dan gudang buku, tapi juga pabrik buku; wadah berbagai penulisan, penyalinan, penerjemahan dan penerbitan naskah serta sebagai pusat riset para cendekiawan besar.

Hampir sama dengan kemerosotan yang terjadi di dunia Barat pada masa Abad Pertengahan, awal mula kemunduran Islam ditandai dengan hancurnya perpustakaan-perpustakaan Islam. Hal itu berawal setelah peyerangan habis-habisan tentara Mongol terhadap Daulah Abbasiyah di Baghdad pada tahun 1258. Tentara Mongol tidak menyisakan satupun perpustakaan, semuanya dibakar habis. Dikabarkan, begitu banyaknya buku yang dibakar dan yang dibuang ke sungai laut, membuat laut di daerah Baghdad berwarna hitam oleh tinta buku tersebut. Nasib yang sama juga terjadi di Samarkand dan Bukhara serta perpustakaan Tripoli juga hancur pada saat Perang Salib berlangsung.

Sementara itu Barat yang menyadari pentingnya ilmu pengetahuan, mulai bangkit dari tidur panjang Abad Pertengahan. Satu persatu perpustakaan-perpustakaan bermunculan di sana. Mulai bermunculan para kolektor buku dan pecinta pengetahuan. Tahun 1542, Martin Luther mengirim surat ke seluruh kota Jerman, ia meminta agar dengan segenap daya dan upaya, mencurahkan seluruh tenaga untuk mendirikan perpustakaan, book house, taman bacaan dan sebagainya. Dan permintaan tersebut mendapat sambutan hangat dengan bermunculannya banyak perpustakaan di Jerman. Salah satunya adalah perpustakaan-perpustakaan yang berada di Hamburg dan Augsburg.

Pasca revolusi Prancis, pada tahun 1789, semangat intelektualisme juga mulai marak di daerah itu. Banyak sekali perpustakaan-perpustakaan yang tumbuh di sana. Salah satu perpustakaan yang masih bertahan hingga saat ini adalah Bibliotheque Nationale.

Hingga saat ini, banyak sekali berdiri perpustakaan di Barat. Beberapa perpustakaan yang bisa disebut antara lain: Library Congress di Washington (1800), The Brithis Museum Library di Inggris (1753), Lenin Library di Moskow (1917) dan The Bibliotheque Royale Albert di Roma (1837).

Begitulah sekelumit sejarah panjang perpustakaan dunia. Walaupun bukan menjadi indikator satu-satunya yang menjadi penyebab munculnya gairah intelektual, tampaknya susah untuk diingkari, bahwa perpustakaan memang memainkan peran penting di balik kemajuan peradaban. Ada semacam hubungan tak terpisahkan antara pengetahuan dan buku; antara buku dan gudangnya buku, yakni perpustakaan.

Bangaimana dengan pesantren? Inilah pertanyaan yang seharusnya direnungkan bersama. Jika mengamati perjalanan sejarah pesantren hingga saat ini, maka tampaknya, perpustakaan bukanlah menjadi hal yang signifikan. Minim pesantren yang memiliki perpustakaan. Bahkan hanya nol koma berapa persen dari jumlah keseluruhan pesantren. Ironis memang, tapi demikianlah kenyataannya. Sebagai lembaga yang mengkhususkan diri di dunia pendidikan, pesantren justru tidak pernah memperhatikan pengadaan dan pengembangan perpustakaan.

Padahal kalau kita mau jujur, perpustakaan merupakan salah satu bagian yang paling fundamental dalam setiap institusi pendidikan. Di ruang perpustakaan seorang ilmuwan bisa menelaah habis pengetahuan-pengetahuan yang telah ditemukan oleh pendahulunya. Dari perpustakaan seseorang mampu mengembangkan wawasan pemikirannya. Di sana seseorang bisa melakukan riset-riset kecil, observasi-observasi hingga mampu memberikan sumbangan yang signifikan bagi dunia ilmu pengetahuan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar