Jumat, 04 Desember 2009

Posisi Hadits Dha'if Dalam Pandangan Ulama

Dewasa ini perkembangan ilmu hadits di dunia akademis mencapai fase yang cukup signifikan. Hal ini ditandai dengan banyaknya kajian-kajian ilmu hadits dari kalangan ulama dan para pakar yang hampir menyentuh terhadap seluruh cabang ilmu hadits seperti kritik matan, kritik sanad, takhrij al-hadits dan lain sebagainya. Kitab-kitab hadits klasik yang selama ini terkubur dalam bentuk manuskrip dan tersimpan rapi di rak-rak perpustakaan dunia kini sudah cukup banyak mewarnai dunia penerbitan.

Namun sayang sekali, dibalik perkembangan ilmu hadits ini, ada pula kelompok-kelompok tertentu yang berupaya menghancurkan ilmu hadits dari dalam. Di antara kelompok tersebut, adalah kalangan yang anti hadits dha'if dalam konteks fadhail al-a'mal, manaqib dan sejarah, yang dikomandani oleh Muhammad Nashiruddin al-Albani, tokoh Wahhabi dari Yordania, dan murid-muridnya. Baik murid-murid yang bertemu langsung dengan al-Albani, maupun murid-murid yang hanya membaca buku-bukunya seperti kebanyakan Wahhabi di Indonesia.

Sebagaimana dimaklumi, para ulama telah bersepakat tentang posisi hadits dha'if yang boleh diamalkan dalam konteks fadhail al-a'mal (amalan-amalan sunat), targhib (motivasi melakukan kebaikan) dan tarhib (peringatan meninggalkan larangan), manaqib dan sejarah. Dalam hal ini, al-Imam al-Nawawi berkata:

"Menurut ahli hadits dan lainnya, boleh memperlonggar (tasahul) dalam menyampaikan sanad-sanad yang lemah (dha'if) dan meriwayatkan hadits dha'if yang tidak maudhu' serta mengamalkannya tanpa menjelaskan kedha'ifannya, dalam hal yang tidak berkaitan dengan sifat-sifat Allah, hukum-hukum halal dan haram, dan yang tidak berkaitan dengan akidah dan hukum-hukum." (Tadrib al-Rawi, 1/162).

Pernyataan al-Imam al-Nawawi di atas memberikan kesimpulan sebagai berikut tentang hadits dha'if. Pertama, boleh meriwayatkan dan mengamalkan hadits dha'if dalam hal-hal yang tidak berkaitan dengan sifat-sifat Allah, akidah dan hukum-hukum halal dan haram. Kedua, pendapat ini adalah pendapat seluruh ahli hadits dan selain mereka.

Menurut al-Imam Jalaluddin al-Suyuthi wilayah bolehnya mengamalkan hadits-hadits dha'if tersebut, mencakup terhadap hal-hal yang berkaitan dengan fadha'il al-a'mal, kisah-kisah para nabi dan orang-orang terdahulu, mau'izhah hasanah atau targhib dan tarhib dan yang sejenisnya. Pernyataan al-Imam al-Nawawi dan al-Suyuthi di atas berkaitan dengan bolehnya mengamalkan hadits dha'if dalam wilayah fadha'il al-a'mal dan semacamnya sebenarnya diriwayatkan dari ulama-ulama salaf antara lain al-Imam Ahmad bin Hanbal, Abdullah bin al-Mubarak, Abdurrahman bin Mahdi dan semacamnya. Mereka mengucapkan sebuah yang sangat populer, "idza rawayna fil halam wal haram syaddadna waidza rawayna fil fadhail wa nahwiha tasahalna (apabila kami meriwayatkan hadits-hadits mengenai halal dan haram, kami menyeleksinya dengan ketat, tetapi apabila kami meriwayatkan hadits-hadits mengenai fadha'il dan semacamnya, kami memperlonggar)". (Tadrib al-Rawi, 1/162).

Bahkan menurut Syaikh Abdullah Mahfuzh al-Haddad dalam kitabnya al-Sunnah wa al-Bid'ah (hal. 110), tidak ada seorang pun ulama yang melarang mengamalkan hadits dha'if, dalam wilayah fadha'il al-a'mal dan sejenisnya.

Berangkat dari kenyataan tersebut, kita temukan kitab-kitab hadits ulama terdahulu seperti karya-karya al-Bukhari (selain Shahih-nya), al-Tirmidzi, al-Nasa'i, Abu Dawud, Ibn Majah, Ahmad bin Hanbal dan lain-lain banyak mengandung hadits-hadits dha'if. Hal ini juga diikuti oleh ulama-ulama berikutnya seperti al-Thabarani, Abu Nu'aim, al-Khathib al-Baghdadi, al-Baihaqi dan lain-lain. Sehingga kemudian tidaklah aneh apabila kitab-kitab tashawuf dan adzkar yang memang masuk dalam wilayah fadha'il al-a'mal seperti Ihya' 'Ulum al-Din, karya al-Ghazali, al-Adzkar karya al-Nawawi dan semacamnya banyak mengandung hadits-hadits dha'if. Bahkan kitab-kitab yang ditulis oleh para ulama panutan Wahhabi seperti Ibn Taimiyah, Ibn al-Qayyim dan Muhammad bin Abdul Wahhab al-Najdi juga penuh dengan hadits-hadits dha'if dan terkadang pula hadits-hadits maudhu'.

Pendeknya hadits dha'if memang boleh diamalkan berdasarkan pendapat seluruh ulama salaf dan khalaf dalam konteks fadha'il al-a'mal dan sejenisnya. Sedangkan orang pertama yang menolak terhadap hadits dha'if dalam wilayah apapun termasuk dalam konteks fadha'il al-a'mal adalah Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, ulama Wahhabi dari Yordania. Al-Albani bukan hanya menolak hadits dha'if, bahkan juga beranggapan bahwa mengamalkan hadits dha'if dalam fadha'il adalah bid'ah dan tidak boleh dilakukan. Lebih dari itu, al-Albani juga memposisikan hadits dha'if sejajar dengan hadits maudhu' seperti dapat dibaca dari judul bukunya, Silsilat al-Ahadits al-Dha'ifah wa al-Maudhu'ah wa Astaruha al-Sayyi' lil-Ummah (serial hadits-hadits dha'if dan maudhu' serta dampat negatifnya bagi umat). Hadits dha'if yang sebelumnya dianjurkan diamalkan oleh para ulama salaf dan khalaf, kini al-Albani menganggapnya bid'ah dan berdampat negatif bagi umat. Secara tidak langsung, al-Albani berarti telah menghujat seluruh ahli hadits sejak generasi salaf yang meriwayatkan hadits-hadits dha'if dalam kitab-kitab mereka sebagai memberi contoh yang negatif bagi umat. Wallahu a'lam.

Rabu, 02 Desember 2009

Mau Beli Kitab Baru? Hati-Hati Dengan Distorsi

Sejak abad dua belas Hijriah yang lalu, dunia Islam dibuat heboh oleh lahirnya gerakan baru yang lahir di Najd. Gerakan ini dirintis oleh Muhammad bin Abdul Wahhab al-Najdi dan populer dengan gerakan Wahhabi. Dalam bahasa para ulama gerakan ini juga dikenal dengan nama fitnah al-wahhabiyah, karena dimana ada orang-orang yang menjadi pengikut gerakan ini, maka di situ akan terjadi fitnah. Di sini kita akan membicarakan fitnah Wahhabi terhadap kitab-kitab para ulama dahulu.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa aliran Wahhabi berupaya keras untuk menyebarkan ideologi mereka ke seluruh dunia dengan menggunakan segala macam cara. Di antaranya dengan mentahrif kitab-kitab ulama terdahulu yang tidak menguntungkan bagi ajaran Wahhabi. Hal ini mereka lakukan juga tidak lepas dari tradisi pendahulu mereka, kaum Mujassimah yang memang lihai dalam mentahrif kitab.

Pada masa dahulu ada seorang ulama Mujassimah, yaitu Ibn Baththah al-'Ukbari, penulis kitab al-Ibanah, sebuah kitab hadits yang menjadi salah satu rujukan utama akidah Wahhabi. Menurut al-Hafizh al-Khathib al-Baghdadi, Ibn Baththah pernah ketahuan menggosok nama pemilik dan perawi salinan kitab Mu'jam al-Baghawi, dan diganti dengan namanya sendiri, sehingga terkesan bahwa Ibn Baththah telah meriwayatkan kitab tersebut. Bahkan al-Hafizh Ibn Asakir juga bercerita, bahwa ia pernah diperlihatkan oleh gurunya, Abu al-Qasim al-Samarqandi, sebagian salinan Mu'jam al-Baghawi yang digosok oleh Ibn Baththah dan diperbaiki dengan diganti namanya sendiri.

Belakangan Ibn Taimiyah al-Harrani, ideolog pertama aliran Wahhabi, seringkali memalsu pendapat para ulama dalam kitab-kitabnya. Misalnya ia pernah menyatakan dalam kitabnya al-Furqan Bayna al-Haqq wa al-Bathil, bahwa al-Imam Fakhruddin al-Razi ragu-ragu terhadap madzhab al-Asy'ari di akhir hayatnya dan lebih condong ke madzhab Mujassimah, yang diikuti Ibn Taimiyah. Ternyata setelah dilihat dalam kitab Ijtima' al-Juyusy al-Islamiyyah, karya Ibn al-Qayyim, murid Ibn Taimiyah, ia telah mentahrif pernyataan al-Razi dalam kitabnya Aqsam al-Ladzdzat.

Tradisi tahrif ala Wahhabi terhadap kitab-kitab Ahlussunnah Wal-Jama'ah yang mereka warisi dari pendahulunya, kaum Mujassimah itu, juga berlangsung hingga dewasa ini dalam skala yang cukup signifikan. Menurut sebagian ulama, terdapat sekitar 300 kitab yang isinya telah mengalami tahrif dari tangan-tangan jahil orang-orang Wahhabi.

Di antaranya adalah kitab al-Ibanah 'an Ushul al-Diyanah karya al-Imam Abu al-Hasan al-Asy'ari. Kitab al-Ibanah yang diterbitkan di Saudi Arabia, Beirut dan India disepakati telah mengalami tahrif dari kaum Wahhabi. Hal ini bias dilihat dengan membandikan isi kitab al-Ibanahal-Ibanah edisi terbitan Mesir yang di-tahqiq oleh Fauqiyah Husain Nashr. tersebut dengan

Tafsir Ruh al-Ma'ani karya al-Imam Mahmud al-Alusi juga mengalami nasib yang sama dengan al-Ibanah. Kitab tafsir setebal tiga puluh dua jilid ini telah ditahrif oleh putra pengarangnya, Syaikh Nu'man al-Alusi yang terpengaruh ajaran Wahhabi. Menurut Syaikh Muhammad Nuri al-Daitsuri, seandainya tafsir Ruh al-Ma'ani ini tidak mengalami tahrif, tentu akan menjadi tafsir terbaik di zaman ini.

Tafsir al-Kasysyaf, karya al-Imam al-Zamakhsyari juga mengalami nasib yang sama. Dalam edisi terbitan Maktabah al-Ubaikan, Riyadh, Wahhabi melakukan banyak tahrif terhadap kitab tersebut, antara lain ayat 22 dan 23 Surat al-Qiyamah, yang ditahrif dan disesuaikan dengan ideologi Wahhabi. Sehingga tafsir ini bukan lagi Tafsir al-Zamakhsyari, namun telah berubah menjadi tafsir Wahhabi.

Hasyiyah al-Shawi 'ala Tafsir al-Jalalain yang populer dengan Tafsir al-Shawi, mengalami nasib serupa. Tafsir al-Shawi yang beredar dewasa ini baik edisi terbitan Dar al-Fikr maupun Dar al-Kutub al-'Ilmiyah juga mengalami tahrif dari tangan-tangan jahil Wahhabi. Yaitu penafsiran al-Shawi terhadap surat al-Baqarah ayat 230 dan surat Fathir ayat 7.

Kitab al-Mughni karya Ibn Qudamah al-Maqdisi al-Hanbali, kitab fiqih terbaik dalam madzhab Hanbali, juga tidak lepas dari tahrif mereka. Wahhabi telah membuang bahasan tentang istighatsah dalam kitab tersebut, karena tidak sejalan dengan ideologi mereka.

Kitab al-Adzkar al-Nawawiyyah karya al-Imam al-Nawawi pernah mengalami nasib yang sama. Kitab al-Adzkar dalam edisi terbitan Darul Huda, 1409 H, Riyadh Saudi Arabia, yang di-tahqiq oleh Abdul Qadir al-Arna'uth dan dibawah bimbingan Direktorat Kajian Ilmiah dan Fatwa Saudi Arabia, telah ditahrif sebagian judul babnya dan sebagian isinya dibuang. Yaitu Bab Ziyarat Qabr Rasulillah SAW diganti dengan Bab Ziyarat Masjid Rasulillah SAW dan isinya yang berkaitan dengan kisah al-'Utbi ketika bertawassul dan beristighatsah dengan Rasulullah saw, juga dibuang.

Demikianlah beberapa kitab yang telah ditahrif oleh orang-orang Wahhabi. Tentu saja tulisan ini tidak mengupas berbagai cara tahrif dan perusakan Wahhabi terhadap kitab-kitab Ahlussunnah Wal-Jama'ah peninggalan para ulama kita. Namun setidaknya, yang sedikit ini menjadi pelajaran bagi kita agar selalu berhati-hati dalam membaca atau membeli kitab-kitab terbitan baru. Wallahu a'lam.

Selasa, 01 Desember 2009

Membangun Kesalehan Individual, Atau Perbaikan Sistem Pemerintahan? Debat Terbuka NU vs HTI

Pagi itu, Ahad tanggal 12 April 2009, jam dinding menunjukkan pukul 9.00. Suasana di Pondok Pesantren Syaikhona Kholil, Demangan Bangkalan sangat cerah. Tampak para santri mengerjakan aktifitasnya masing-masing, ada yang masuk sekolah dan ada yang berjalan ke sana ke mari. Sementara di ruangan Aula Pertemuan, sekitar 250 santri senior dan Mahasiswa STIT Syaikhona Kholil, telah menunggu acara yang akan segera digelar. Yaitu dialog terbuka antara Ustadz Muhammad Idrus Ramli, Sekretaris LBM NU Jember, dengan Ustadz Hisyam Hidayat, Ketua Pengurus HTI Jawa Timur yang tinggal di Ketintang Surabaya.

Jam menunjukkan pukul 9.00, Ustadz Hisyam Hidayat telah hadir bersama rombongan yang terdiri dari para tokoh dan aktivis HTI sekitar 15 orang. Sekitar 10 menit kemudian, Ustadz Idrus Ramli, yang masih alumni PP. Sidogiri Pasuruan ini datang menyusul dengan tanpa membawa teman. Segera Ustadz Idrus Ramli memasuki kantor Aula di lantai dua dan berjabatan tangan dengan Hisyam Hidayat dan rekan-rekannya.

15 menit kemudian, semuanya turun ke lantai dasar menuju ruangan Aula Pertemuan, pertanda acara yang digelar oleh M3 (Majlis Musyawarah Ma'hadiyah) PP. Syaikhona Kholil ini akan segera dimulai. Sambutan demi sambutanpun dimulai, pertama oleh Ketua Umum PP. Syaikhona Kholil, yaitu KH.R. Muhammad Nasih Aschol dan dilanjutkan oleh sambutan panitia, Ustadz Mardi. Setelah itu dilanjutkan dengan acara inti, dialog terbuka, antara Idrus Ramli dan Hisyam Hidayat, dengan dipandu oleh moderator, Ustadz Mauridi, yang masih pengurus Lajnah Falakiyah PWNU Jawa Timur.

Acara yang sebenarnya membawa tema, "KEMAJUAN DAN DEGRADASI ISLAM DARI MASA KE MASA" itu ternyata berjalan agak panas menjadi ajang perdebatan dan saling serang antara dua tokoh muda Islam tersebut. Sejak awal, sang moderator memang telah menggiring pembicaraan kedua nara sumber tersebut untuk memasuki ranah pemikiran dan ideologi yang menjadi perselisihan antara NU dan HTI.

Sesi pertama, moderator memberikan waktu kepada Hisyam Hidayat untuk memaparkan konsep kemajuan dan kemunduran Islam. Hisyam yang dibekali dengan laptop dan program power point tersebut menawarkan konsep yang sangat jitu dalam memajukan Islam, yaitu membangun kesadaran masyarakat tentang perlunya perbaikan system pemerintahan Islam dengan menegakkan khilafah dan penerapan syariat yang memang hal itu menjadi kewajiban umat Islam.

Pada bagian berikutnya, Ustadz Idrus Ramli memaparkan konsepnya tentang visi dan misi perjuangan para ulama dan kiai. Selama ini gerakan para ulama dan kiai bukan melalui jalur politik, dengan slogan dan misi perbaikan system pemerintahan, tegaknya khilafah dan penerapat syariat. Akan tetapi mereka bergerak dalam jalur dakwah dan pendidikan kemasyarakatan dengan mengajar mereka menunaikan shalat, zakat, puasa dan kewajiban-kewajiban agama yang lainnya dengan sebaik-baiknya. Hal tersebut berangkat dari keyakinan para kiai bahwa, apabila masyarakat telah menjalankan ajaran agamanya dengan benar dan sempurna, maka dengan sendirinya akan terbangun kesalehan individual yang pada akhirnya akan membawa pada kesalehan social. Ketika kesalehan individual telah tercapai, maka dengan sendirinya masyarakat akan menerapkan syariat Islam dengan sempurna. Bukankah dalam al-Qur'an Allah telah berfirman, "Sesungguhnya shalat itu dapat mencegah dari perbuatan keji dan kemungkaran."

Berkaitan dengan system pemerintahan yang ada di dunia Islam dewasa ini, Idrus Ramli berpendapat, bahwa berdirinya pemerintahan dan penguasa yang sewenang-wenang dan keluar dari jalur syariat Islam, itu tidak terlepas dari kondisi rakyat yang memang jauh dari nilai-nilai agama. Dalam hal ini Allah berfirman, "Demikianlah kami jadikan sebagian orang yang zalim sebagai pemimpin bagi sebagian yang lain akibat perbuatan mereka." Berdasarkan ayat ini, berdirinya pemerintahan dan penguasa yang zalim itu sebagai akibat dari kezaliman masyarakat itu sendiri baik secara individual maupun social. Apabila mereka menginginkan pemerintahan yang tidak zalim dan bertindak sesuai dengan aturan syariat, maka rakyat harus bertobat kepada Allah dari perbuatan mereka yang zalim. Ketika suatu masyarakat menjalankan perintah agama dengan paripurna, maka Allah akan memberi mereka seorang pemimpin sekaliber Sayidina Abu Bakar dan Umar. Dan demikian pula sebaliknya.

Pada sesi berikutnya, moderator memberikan waktu kepada Hisyam Hidayat untuk menanggapi pernyataan Idrus Ramli. Dalam kesempatan tersebut, Hisyam tidak menyia-nyiakan waktunya untuk mengarahkan kritik terhadap pandangan Idrus Ramli. Menurut Hisyam, selama ini kelompok yang anti HTI banyak yang berdalil dengan sejarah. Padahal dalil dalam agama itu al-Qur'an, hadits, ijma' dan qiyas. Hisyam juga mengkritik pernyataan Idrus Ramli dalam beberapa majalah seperti Majalah Ijtihad Sidogiri beberapa waktu yang lalu, yang mengkritik HT tanpa memiliki sanad. Padahal menurut Abdullah bin al-Mubarak, salah satu ulama salaf, sanad itu termasuk bagian dari agama. Hisyam juga mengkritik Idrus yang tidak bersemangat memperjuangkan khilafah, padahal al-Imam al-Nawawi sendiri dalam beberapa kitabnya menyatakan wajibnya menegakkan khilafah berdasarkan kesepakatan para ulama.

Namuan kritikan-kritikan Hisyam tersebut berhasil dipatahkan dengan cukup baik oleh Idrus Ramli, dan bahkan dijadikan serangan balik yang mematikan terhadap HT. Menurut Idrus Ramli, sejarah memang bukan dalil dalam agama. Tapi bagaimanapun sejarah harus dijadikan pelajaran bagi kita dalam melangkah. Bukankah Nabi SAW telah bersabda, "Janganlah seorang Mukmin terperosok ke dalam jurang yang sama sampai dua kali." Menurut Idrus Ramli, dalam catatan sejarah, kelompok-kelompok revivalis yang membawa misi perbaikan system pemerintahan sejak awal Islam selalu memiliki akidah yang menyimpang dari mainstream Ahlussunnah Wal-Jama'ah. Pada masa Sayidina Utsman, kelompok Khawarij melakukan demonstrasi dan akhirnya membunuh Sayidina Utsman dengan kedok misi perbaikan system pemerintahan. Tetapi ternyata mereka membawa akidah yang menyimpang dari ajaran Islam yang murni. Demikian pula pada masa-masa selanjutnya, kelompok-kelompok yang membawa misi serupa selalu dilatarbelakangi akidah yang menyimpang. Tidak terkecuali Hizbut Tahrir dewasa ini, yang dalam dalam bagian awal kitab al-Syakhshiyyat al-Islamiyyah, karya Taqiyuddin al-Nabhani, pendiri HT, banyak yang menyimpang dari ajaran Islam.

Terkait dengan pernyataan Hisyam, bahwa beberapa kritikan Idrus dalam Majalah Ijtihad Sidogiri, yang tidak memiliki sanad, Idrus menjawab, bahwa sanad dalam kritikan tersebut adalah beberapa guru Idrus dari Lebanon yang bertetangga dengan al-Nabhani, pendiri HT. disamping kitab-kitab al-Nabhani sendiri yang memang terang-terangan banyak yang menyimpang dari mainstream Ahlussunnah Wal-Jama'ah. Justru yang perlu dipertanyakan sanadnya adalah pandangan-pandangan al-Nabhani sendiri dalam al-Syakhshiyyat al-Islamiyyah dan lain-lain yang menyimpang tersebut. Seperti pernyataan al-Nabhani bahwa konsep qadha' dan qadar Ahlussunnah Wal-Jama'ah diadopsi dari para filosof Yunani. Menurut Idrus, pernyataan al-Nabhani tersebut sama-sekali tidak benar dan sangat dibuat-buat. Karena para ulama yang menulis kitab-kitab akidah mereka seperti al-Imam al-Baihaqi dalam kitab al-I'tiqad, ketika menguraikan masalah qadha' dan qadar justru dasarnya dari al-Qur'an dan hadits semua. Para ulama tidak pernah menjelaskan konsep qadha' dan qadar dengan mengutip pernyataan Aristoteles, Plato dan lain-lain dari para filosof Yunani. "Jadi, pernyataan al-Nabhani bohong belaka dan tidak punya sanad", demikian kata Idrus dengan nada tinggi.

Sedangkan pernyataan Hisyam yang mengutip pernyataan al-Imam al-Nawawi dalam kitab Raudhat al-Thalibin, tentang wajibnya menegakkan khilafah, menurut Idrus itu kalau kaum Muslimin memang mampu melakukannya. "Sekarang kaum Muslimin tidak mampu melakukannya, sehingga dengan sendirinya kewajiban tersebut gugur bagi mereka", demikian menurut alumni Sidogiri tersebut. Menurut Idrus, orang-orang HTI banyak yang tidak memahami maksud para ulama dalam bab khilafah, bahwa hal tersebut sebenarnya diletakkan dalam kerangka yang idealistik. Kalau kriteria khalifah yang terdapat dalam kitab-kitab fiqih terpaksa kita terapkan sekarang, toh kaum Muslimin tetap tidak mungkin dapat melakukannya. Karena persyaratan khalifah itu harus seorang laki-laki Muslim, yang adil dan mujtahid dalam bidang hukum-hukum agama. "Dan ini sekarang tidak ada, meskipun di Negara-negara Arab sendiri," demikian katanya.

Dalam acara tersebut, Ustadz Idrus Ramli juga memberikan masukan terhadap Ustadz Hisyam Hidayat terkait dengan buletin mingguan Al-Islam, yang diterbitkan oleh HT. Dalam buletin tersebut, HT selalu mengkait-kaitkan penyelesaian problem yang dihadapi umat Islam dengan khilafah. Menurut Idrus, hal tersebut sangat tidak mendidik terhadap masyarakat. "Bagi orang yang melek sejarah, hal tersebut akan disalahkan. Karena khilafah dapat menjadi solusi bagi segala problem itu ketika khalifahnya rasyid (mengikuti petunjuk-petunjuk agama) dan adil seperti Khulafaur Rayisidin. Akan tetapi ketika yang menjadi khalifah tidak rasyid seperti Yazid bin Muawiyah, dan gubernurnya seperti al-Hajjaj bin Yusuf, yang terjadi bukan menyelesaikan problem. Justru rakyatnya sendiri yang dibunuh."

Acara seminar tahunan yang digelas oleh M3 (Majlis Musyawarah Ma'hadiyah) PP. Syaikhona Kholil Demangan Bangkalan, tersebut ternyata menjadi ajang perdebatan antara kedua nara sumber. Suasana panas, tepuk tangan dan suara huuuh.... dari para hadirin ketika jawaban atau serangan dikemukakan oleh salah seorang pembicara mewarnai acara seminar tersebut. Meskipun sebagian besar sanggahan-sanggahan Hisyam Hidayat berhasil dijawab dengan cukup bagus oleh Idrus Ramli dan bahkan dijadikan sanggahan balik yang mematikan terhadap Hisyam. Sementara sanggahan-sanggahan Idrus Ramli, tidak mampu direspon oleh Hisyam Hidayat. Menurut KH. Ali Ghafir, salah satu dosen STIT Syaikhona Kholil, yang menyaksikan acara seminar tersebut, "Perjalanan dialog sangat tidak seimbang. Karena semua sanggahan Hisyam Hidayat berhasil dijawab dengan baik oleh Ustadz Idrus Ramli dan bahkan dijadikan serangan balik yang cukup mematikan. Sementara sanggahan-sanggahan Ustadz Idrus, tidak mampu dijawab dengan baik." Acara dialog dihentikan setelah waktu menunjukkan pukul 13.45 menit.

Senin, 30 November 2009

LEMBARAN HITAM DI BALIK PENAMPILAN KEREN KAUM WAHABI

Ke mana-mana selalu menyebarkan salam. Selalu memakai baju bercorak gamis dan celana putih panjang ke bawah lutut, ciri-khas orang Arab. Jenggotnya dibiarkannya lebat dan terkesan menyeramkan. Slogannya pemberlakuan syariat Islam. Perjuangannya memberantas syirik, bid’ah, dan khurafat. Referensinya, al-Kitab dan Sunah yang sahih. Semuanya serba keren, valid, islami. Begitulah kira-kira penampilan kaum Wahabi. Sepintas dan secara lahiriah meyakinkan, mengagumkan.

Tapi jangan tertipu dulu dengan setiap penampilan keren. Kata pepatah jalanan, tidak sedikit di antara mereka yang memakai baju TNI, ternyata penipu, bukan tentara. Pada masa Rasulullah saw, di antara tipologi kaum Khawarij yang benih-benihnya mulai muncul pada masa beliau, adalah ketekunan mereka dalam melakukan ibadah melebihi ibadah kebanyakan orang, sehingga beliau perlu memperingatkan para Sahabat ra dengan bersabda, “Kalian akan merasa kecil, apabila membandingkan ibadah kalian dengan ibadah mereka.”

Demikian pula halnya dengan kaum Wahabi, yang terkadang memakai nama keren “kaum Salafi”. Apabila diamati, sekte yang didirikan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab an-Najdi (1115-1206 H/1703-1791 M), sebagai kepanjangan dari pemikiran dan ideologi Ibnu Taimiyah al-Harrani (661-728 H/1263-1328 M), akan didapati sekian banyak kerapuhan dalam sekian banyak aspek keagamaan.

A. Sejarah Hitam
Sekte Wahabi, seperti biasanya sekte-sekte yang menyimpang dari manhaj Islam Ahlusunah wal Jamaah memiliki lembaran-lembaran hitam dalam sejarah. Kerapuhan sejarah ini setidaknya dapat dilihat dengan memperhatikan sepak terjang Wahabi pada awal kemunculannya. Di mana agresi dan aneksasi (pencaplokan) terhadap kota-kota Islam seperti Mekah, Madinah, Thaif, Riyadh, Jeddah, dan lain-lain, yang dilakukan Wahabi bersama bala tentara Amir Muhammad bin Saud, mereka anggap sebagai jihad fi sabilillah seperti halnya para Sahabat ra menaklukkan Persia dan Romawi atau Sultan Muhammad al-Fatih menaklukkan Konstantinopel.

Selain menghalalkan darah kaum Muslimin yang tinggal di kota-kota Hijaz dan sekitarnya, kaum Wahabi juga menjarah harta benda mereka dan menganggapnya sebagai ghanîmah (hasil jarahan perang) yang posisinya sama dengan jarahan perang dari kaum kafir. Hal ini berangkat dari paradigma Wahabi yang mengkafirkan kaum Muslimin dan menghalalkan darah dan harta benda kaum Muslimin Ahlusunah wal Jamaah pengikut mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali yang tinggal di kota-kota itu. Lembaran hitam sejarah ini telah diabadikan dalam kitab asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhâb; ‘Aqîdatuhus-Salafiyyah wa Da’watuhul-Ishlâhiyyah karya Ahmad bin Hajar Al-Buthami (bukan Al-Haitami dan Al-‘Asqalani)–ulama Wahabi kontemporer dari Qatar–, dan dipengantari oleh Abdul Aziz bin Baz.

B. Kerapuhan Ideologi
Dalam akidah Ahlusunah wal Jamaah, berdasarkan firman Allah, “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia (Allah)” (QS asy-Syura [42]: 11), dan dalil ‘aqli yang definitif, di antara sifat wajib bagi Allah adalah mukhâlafah lil-hawâdits, yaitu Allah berbeda dengan segala sesuatu yang baru (alam). Karenanya, Allah itu ada tanpa tempat dan tanpa arah. Dan Allah itu tidak duduk, tidak bersemayam di ‘Arasy, tidak memiliki organ tubuh dan sifat seperti manusia. Dan menurut ijmak ulama salaf Ahlusunah wal Jamaah, sebagaimana dikemukakan oleh al-Imam Abu Ja’far ath-Thahawi (227-321 H/767-933 M), dalam al-‘Aqîdah ath-Thahâwiyyah, orang yang menyifati Allah dengan sifat dan ciri khas manusia (seperti sifat duduk, bersemayam, bertempat, berarah, dan memiliki organ tubuh), adalah kafir. Hal ini berangkat dari sifat wajib Allah, mukhâlafah lil-hawâdits.

Sementara Wahabi mengalami kerapuhan fatal dalam hal ideologi. Mereka terjerumus dalam faham tajsîm (menganggap Allah memiliki anggota tubuh dan sifat seperti manusia) dan tasybîh (menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya). Padahal menurut al-Imam asy-Syafi’i (150-204 H/767-819 M) seperti diriwayatkan olah as-Suyuthi (849-910 H/1445-1505 M) dalam al-Asybâh wan-Nazhâ’ir, orang yang berfaham tajsîm, adalah kafir. Karena berarti penolakan dan pengingkaran terhadap firman Allah, “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia (Allah).” (QS asy-Syura [42]: 11)

C. Kerapuhan Tradisi
Di antara ciri khas Ahlusunah wal Jamaah adalah mencintai, menghormati, dan mengagungkan Rasulullah saw, para Sahabat ra, ulama salaf yang saleh, dan generasi penerus mereka yang saleh seperti para habaib dan kiai yang diekspresikan dalam bentuk tradisi semisal tawasul, tabarruk, perayaan maulid, haul, dan lain-lain.

Sementara kaum Wahabi mengalami kerapuhan tradisi dalam beragama, dengan tidak mengagungkan Nabi saw, yang diekspresikan dalam pengafiran tawasul dengan para nabi dan para wali. Padahal tawasul ini, sebagaimana terdapat dalam Hadis-Hadis sahih dan data-data kesejarahan yang mutawâtir, telah dilakukan oleh Nabi Adam , para Sahabat ra, dan ulama salaf yang saleh. Sehingga dengan pandangannya ini, Wahabi berarti telah mengafirkan Nabi Adam , para Sahabat ra, ahli Hadis, dan ulama salaf yang saleh yang menganjurkan tawasul.

Bahkan lebih jauh lagi, Nashiruddin al-Albani–ulama Wahabi kontemporer–sejak lama telah menyerukan pembongkaran al-qubbah al-khadhrâ’ (kubah hijau yang menaungi makam Rasulullah saw) dan menyerukan pengeluaran jasad Nabi saw dari dalam Masjid Nabawi, karena dianggapnya sebagai sumber kesyirikan. Al-Albani juga telah mengeluarkan fatwa yang mengafirkan al-Imam al-Bukhari, karena telah melakukan takwil dalam ash-Shahih-nya.

Demikian sekelumit dari ratusan kerapuhan ideologis Wahabi. Dari sini, kita perlu berhati-hati dengan karya-karya kaum Wahabi, sekte radikal yang lahir di Najd. Dalam Hadis riwayat al-Bukhari, Muslim, dan lain-lain, Nabi saw bersabda, “Di Najd, akan muncul generasi pengikut Setan”. Menurut para ulama, maksud generasi pengikut Setan dalam Hadis ini adalah kaum Wahabi. Wallâhul-hâdî. [BS]


PERPUSTAKAAN; JALAN PANJANG MENGUSUNG PERADABAN

Tinta sejarah, lewat catatan-catatannya menjadi saksi bahwa ada keterkaitan erat antara kemajuan peradaban suatu bangsa dengan munculnya perpustakaan. Logikanya, perpustakaan menjadi mediator munculnya gairah intelektual yang lebih tinggi. Gairah yang tinggi melahirkan ilmuwan-ilmuwan. Dan, ilmuwan-ilmuwan tersebut menjadi titik tolak kemajuan peradaban bangsa.

Dalam catatan sejarah, logika di atas sudah terbukti. Sebenarnya sebelum Masehi, perpustakaan-perpustakaan besar sudah bermunculan. Perpustakaan pertama kali berada di daerah Nipur, pada milenium ketiga sebelum masehi (SM). Selanjutnya pada tahun (668-627 SM), Raja Assiria mendirikan perpustakaan yang berisi sekitar 25.000 buku. Beberapa abad kemudian, di Athena berdiri perpustakaan di sekolah Plato dan Epicurean. Lalu perpustakaan terkenal didirikan oleh Aristoteles. Tahun (295 SM), di daerah Mesir didirikan sebuah pepustakaan yang koleksinya tidak kurang dari 500.000 buku. Di Asia kecil, tepatnya pada masa pemerintahan Attalus (197 SM) dan Eumenes (159 SM) didirikan sebuah perpustakaan yang hampir menandingi perpustakaan Alexanderia di Mesir.

Sebuah kenyataan menarik disini adalah hampir seluruh tempat yang disebut di atas, merupakan daerah yang paling maju peradabannya. Sebut saja kota Athena yang keagungannya masih terasa sampai saat ini. Di kota itulah lahir para filosof kenamaan seperti Socrates, Plato, Aristoteles, Tales,dll. Pemikiran mereka begitu berpengaruh bagi perkembangan dunia dan sampai detik ini, pemikiran-pemikiran mereka masih dipelajari di universitas-universitas dunia, termasuk di Indonesia.

Jika kemajuan peradaban senantiasa ditandai dengan maraknya pepustakaan dan gairah intelektual yang tinggi dari masyarakat bangsa tersebut, sebaliknya, kemerosotan peradaban suatu bangsa, selalu ditandai dengan hancur lebur dan luluhlantaknya perpustakaan. Sekitar abad ke-5 masehi, Roma dihancurkan oleh tentara Barbar Jerman. Perpustakaan umum dan pribadi turut serta dibakar dan diluluhlantakkan. Beberapa data sempat terselamatkan dan diungsikan di gereja-gereja. Sayang, ketika buku-buku itu berpindah ke gereja, ilmu yang semula berkembang secara bebas menjadi tertawan. Maka inilah yang disebut dengan masa Abad Pertengahan (Middle Age). Dunia Barat mengalami kemerosotan pada titik yang paling bawah.

Sementara dunia Barat berada pada masa kegelapan peradaban, maka dunia Islam bangkit. Kesadaran dan kecintaan terhadap ilmu pengetahuan pada jaman itu begitu tinggi. Buktinya, perpustakaan-perpustakaan dengan berbagai jenisnya muncul bertebaran di berbagai wilayah Islam, membidani lahirnya para ulama dan ilmuwan besar Islam, seperti Jabir Ibnu Hayyan, al-Farobi, Ibnu Sina, dll.

Perpustakaan-perpustakaan tersebut adalah tiga puluh enam perpustakaan di Baghdad, yang di antaranya adalah Baitul Hikmah, sebuah kombinasi yang baik dari perpustakaan, akademi dan sarana penerjemahan, yang didirikan oleh Khalifah Abbasiyah, al-Ma`mun, sekitar tahun 318 H; perpustakaan Umar al-Waqidi (736 H) yang diperkirakan memiliki banyak sekali buku yang kalau ditimbang beratnya sama dengan dua puluh ekor unta; Darul Ilmi (991); perpustakaan sekolah tinggi Nidzamiyah (1064); perpustakaan sekolah Mustansiriyyah (1233); perpustkaan al-Baiqani, berisi banyak sekali buku, sehingga untuk mengangkutnya saja membutuhkan enam puluh tiga keranjang dan dua ratus lima puluh koper; dan Perpustakaan Muhammad bin Kamil dengan 10.000 buah buku.

Di Persia, terdapat perpustakaan pribadi milik Nuh bin Mansyur, perpustakaan Ibnu Hamid (w.971), perpustakaan penyair Ibnu Hamdun (w.935), perpustakaan Adud ad-Daulah (982).

Di Kairo, berdiri perpustakaan Baitul Hikmah (998) yang berisi tidak kurang dari 100.000 volume, termasuk 2.400 buah al-Qur’an berhiaskan emas dan perak yang disimpan dalam ruangan terpisah, perpustakaan al-Fadhil (1068), perpustakaan Bin Fatiq, perpustakaan al-Ma’arif berisi ribuan buku dari setiap cabang ilmu pengetahuan.

Di Spanyol, berdiri lebih dari tujuh puluh perpustakaan yang di antaranya adalah perpustakaan Khalifah al-Hakim (976), berisi 600.000 jilid, yang secara hati-hati diseleksi seluruh penyalur buku yang ahli dari semua pasar Islam; perpustakaan Abdul Mutrif (1011), seorang hakim Cordoba yang kebanyakan berisi buku-buku langka.

dan masih banyak lagi perpustakaan-perpustakaan pribadi yang tidak diketahui jumlahnya.

Bisa dikatakan, sejarah keemasan Islam menunjukkan bahwa perpustakaan ternyata bukan hanya rumah baca dan gudang buku, tapi juga pabrik buku; wadah berbagai penulisan, penyalinan, penerjemahan dan penerbitan naskah serta sebagai pusat riset para cendekiawan besar.

Hampir sama dengan kemerosotan yang terjadi di dunia Barat pada masa Abad Pertengahan, awal mula kemunduran Islam ditandai dengan hancurnya perpustakaan-perpustakaan Islam. Hal itu berawal setelah peyerangan habis-habisan tentara Mongol terhadap Daulah Abbasiyah di Baghdad pada tahun 1258. Tentara Mongol tidak menyisakan satupun perpustakaan, semuanya dibakar habis. Dikabarkan, begitu banyaknya buku yang dibakar dan yang dibuang ke sungai laut, membuat laut di daerah Baghdad berwarna hitam oleh tinta buku tersebut. Nasib yang sama juga terjadi di Samarkand dan Bukhara serta perpustakaan Tripoli juga hancur pada saat Perang Salib berlangsung.

Sementara itu Barat yang menyadari pentingnya ilmu pengetahuan, mulai bangkit dari tidur panjang Abad Pertengahan. Satu persatu perpustakaan-perpustakaan bermunculan di sana. Mulai bermunculan para kolektor buku dan pecinta pengetahuan. Tahun 1542, Martin Luther mengirim surat ke seluruh kota Jerman, ia meminta agar dengan segenap daya dan upaya, mencurahkan seluruh tenaga untuk mendirikan perpustakaan, book house, taman bacaan dan sebagainya. Dan permintaan tersebut mendapat sambutan hangat dengan bermunculannya banyak perpustakaan di Jerman. Salah satunya adalah perpustakaan-perpustakaan yang berada di Hamburg dan Augsburg.

Pasca revolusi Prancis, pada tahun 1789, semangat intelektualisme juga mulai marak di daerah itu. Banyak sekali perpustakaan-perpustakaan yang tumbuh di sana. Salah satu perpustakaan yang masih bertahan hingga saat ini adalah Bibliotheque Nationale.

Hingga saat ini, banyak sekali berdiri perpustakaan di Barat. Beberapa perpustakaan yang bisa disebut antara lain: Library Congress di Washington (1800), The Brithis Museum Library di Inggris (1753), Lenin Library di Moskow (1917) dan The Bibliotheque Royale Albert di Roma (1837).

Begitulah sekelumit sejarah panjang perpustakaan dunia. Walaupun bukan menjadi indikator satu-satunya yang menjadi penyebab munculnya gairah intelektual, tampaknya susah untuk diingkari, bahwa perpustakaan memang memainkan peran penting di balik kemajuan peradaban. Ada semacam hubungan tak terpisahkan antara pengetahuan dan buku; antara buku dan gudangnya buku, yakni perpustakaan.

Bangaimana dengan pesantren? Inilah pertanyaan yang seharusnya direnungkan bersama. Jika mengamati perjalanan sejarah pesantren hingga saat ini, maka tampaknya, perpustakaan bukanlah menjadi hal yang signifikan. Minim pesantren yang memiliki perpustakaan. Bahkan hanya nol koma berapa persen dari jumlah keseluruhan pesantren. Ironis memang, tapi demikianlah kenyataannya. Sebagai lembaga yang mengkhususkan diri di dunia pendidikan, pesantren justru tidak pernah memperhatikan pengadaan dan pengembangan perpustakaan.

Padahal kalau kita mau jujur, perpustakaan merupakan salah satu bagian yang paling fundamental dalam setiap institusi pendidikan. Di ruang perpustakaan seorang ilmuwan bisa menelaah habis pengetahuan-pengetahuan yang telah ditemukan oleh pendahulunya. Dari perpustakaan seseorang mampu mengembangkan wawasan pemikirannya. Di sana seseorang bisa melakukan riset-riset kecil, observasi-observasi hingga mampu memberikan sumbangan yang signifikan bagi dunia ilmu pengetahuan.


Jumat, 27 November 2009

AGAMA DAN SEKTE: MERAJUT UKHUWAH TANPA KACAUKAN AKIDAH

Maraknya wacana-wacana baru di bidang keagamaan, seperti halnya di berbagai bidang yang lain, tentu tidak lepas dari pengaruh Barat yang terus menguat, mendominasi, melemahkan, dan melumpuhkan bangsa-bangsa inferior, termasuk Indonesia. Pada level pemikiran, bangsa-bangsa di Dunia Ketiga seakan terisolasi, dan pemikiran mereka nyaris tak bisa berkembang melampaui batas-batas pemikiran hegemonik yang mengitarinya, yakni pemikiran Barat Sekular.

Secara garis besar, Dr Hamid Fahmi Zarkasyi mengklasifikasi peradaban Barat pada dua periode penting, yaitu modernisme dan postmodernisme. Modernisme adalah paham yang muncul menjelang kebangkitan masyarakat Barat dari abad kegelapan pada abad pencerahan, abad industri, dan abad ilmu pengetahuan. Ciri-cirinya adalah berkembangnya pandangan hidup saintifik yang diwarnai oleh paham sekularisme, rasionalisme, empirisisme, cara berfikir dikotomis, desakralisasi, pragamatisme, dan penafian kebenaran metafisis (baca: Agama). Modernisme yang terkadang disebut Westernisme juga membawa serta paham nasionalisme, kapitalisme, humanisme, liberalisme, sekularisme, dan sebagainya.

Sedangkan postmodernisme adalah gerakan pemikiran yang lahir sebagai protes terhadap modernisme ataupun sebagai kelanjutannya. Postmodernisme berbeda dari modernisme, karena ia telah bergeser pada paham-paham baru, seperti nihilisme, relativisme, pluralisme, dan persamaan gender, dan umumnya anti-worldview. Namun ia dapat dikatakan sebagai kelanjutan modernisme karena masih mempertahankan paham liberalisme, rasionalisme, dan pluralismenya. Itulah sekurang-kurangnya elemen penting peradaban Barat yang kini sedang menguasai dunia.

Namun kendati bagaimana pun, para pakar agaknya bersepakat bahwa elemen terpenting dari suatu peradaban adalah agama. Huntington misalnya, menyatakan bahwa, “Agama adalah sentral yang menentukan karakteristik peradaban-peradaban.” Barangkali bertolak dari titik ini, dalam Clash of Civilization selanjutnya ia menunjuk Islam sebagai ancaman paling serius bagi Barat, setelah tumbangnya Komunisme.

Pernyataan Huntington di atas memberikan kejelasan bahwa hingga detik ini mesti terus disadari jika kita masih ada dalam zona perang pemikiran (ghazwu al-fikr). Nah, di sinilah kemudian pluralisme, salah satu unsur yang membentuk peradaban Barat, bermain. Disadari atau tidak, saat ini isme tersebut kini telah menjadi salah satu konsep pemikiran yang—sayangnya—ditangkap secara mentah justru oleh masyarakat Muslim level menengah ke atas.

Secara terminologis, pluralisme agama berarti hidup bersama (koeksistensi) antar agama (dalam arti luas) yang berbeda-beda dengan tetap mempertahankan ciri-ciri spesifik atau ajaran masing-masing agama. Namun dari segi konteks di mana “pluralisme agama” sering digunakan dalam studi-studi dan wacana-wacana sosio-ilmiah pada era modern, istilah ini telah menemukan definisinya yang sangat berbeda dengan yang dimiliki semula, bahwa pluralisme agama, sebagaimana ditegaskan oleh Jon Hick, adalah sebuah faham bahwa agama merupakan manifestasi-manifestasi dari realitas yang satu. Dengan demikian, semua agama adalah sama, tak ada yang lebih baik dari yang lain.

Sangat jelas, bahwa rumusan Hick tentang pluralisme agama di atas adalah berangkat dari pendekatan substantif, yang mengungkung agama dalam ruang (privat) yang sangat sempit, dan memandang agama lebih sebagai konsep hubungan manusia dengan kekuatan sakral yang transendental dan bersifat metafisik ketimbang sebagai suatu sistem sosial. Dengan demikian, telah terjadi pengebirian dan reduksi pengertian agama yang sangat dahsyat. Sesungguhnya pemahaman agama yang reduksionistik inilah yang merupakan pangkal permasalahan sosio-teologis modern yang sangat akut dan kompleks yang tidak mungkin diselesaikan dan ditemukan solusinya kecuali dengan mengembalikan agama itu sendiri ke habitat aslinya, ke titik orbit yang sebenarnya, dan kepada pengertiannya yang benar dan komprehensif, tak reduksionistik.

Akan tetapi sungguh mengejutkan, sebagaimana dinyatakan oleh Dr. Anis Malik Toha, ternyata pemahaman reduksionistik inilah yang justru semakin populer dan bahkan diterima di kalangan para ahli dari berbagai disiplin ilmu dan pemikiran yang berbeda, hingga menjadi sebuah fenomena baru dalam dunia pemikiran manusia yang secara diametral berbeda dengan apa yang sudah dikenali secara umum.

Kenyataan bahwa setiap agama menghendaki kedamaian antar-umat manusia, tidak mengajarkan huru-hara dan pertumpahan darah, tidak lantas bisa disimpulkan bahwa setiap agama dalam tataran esoteris adalah sama, dan dengan begitu pluralisme agama adalah sebuah keniscayaan yang tak perlu disangkal.

Menyatakan ajaran-ajaran tersebut adalah bagian dari doktrin setiap agama adalah benar, namun menyimpulkan paham pluralitas keagamaan dari bagian doktrin agama tersebut adalah keliru total. Sebab ajaran-ajaran tersebut tidaklah mewakili agama secara keseluruhan. Selain mengajarkan kedamaian, setiap agama juga punya konsep Kebenaran, konsep Tuhan, Kitab Suci, syariat, dan tata-nilai yang berbeda-beda. Nah, kesatuan dari unsur-unsur doktrin, ajaran, dan tata-nilai itulah yang disebut agama. Maka adalah tidak proporsional jika dengan segelintir persamaan dan segudang perbedaan, lalu yang jadi dominan adalah persamaannya, kemudian dengan enteng dinyatakan bahwa setiap agama adalah sama, dan dengan demikian kebenaran ada pada setiap agama. Karenanya, mengharapkan kedamaian dengan pluralisme agama adalah suatu estimasi (perkiraan) yang tidak realistis.

Tidak jauh berbeda dengan pluralisme agama, adalah pemikiran pluralisme sekte dalam agama (Islam). Jika dilakukan pembacaan secara historis atau sosio-politis, pluralisme sekte tidaklah terjadi akibat kontak dengan Barat, sebagaimana pluralisme agama. Sebab sekte-sekte dalam Islam telah berkembang pada periode awal. Jadi, pemikiran pluralistis dalam lingkup ini (antar sekte) muncul dari umat Islam sendiri, barangkali untuk meredam konflik yang rentan terjadi.

Mengenai hal ini, Ahmad Amin dalam Dhuru al-Islâm agaknya menilai bahwa pemikiran seperti ini mulai berkembang sejak abad pertengahan, setidaknya sejak al-Anbari mengambil keputusan untuk abstain dan tidak menyalahkan akidah siapa pun, baik Jabariyah maupun Qadariyah. “Orang yang bilang status pezina adalah mukmin tentu benar, yang menuduh ia kafir juga tak bisa disalahkan, begitu pula yang mengklaim fasik atau munafik. Sebab al-Quran memang berisyarat pada arti-arti yang beragam itu," demikian kata al-Anbari.

Nah, saat ini, sikap yang semula dimunculkan al-Anbari ini agaknya mengalami perkembangan mengiringi perkembangan pluralisme agama. Ketika pluralisme agama meniscayakan untuk mengikis habis agama-agama yang ada, maka pluralisme antar-sekte meniscayakan seseorang untuk melepaskan akidah masing-masing, sehingga dengan demikiran diharapkan tidak ada pertikaian masalah akidah yang tidak perlu dan seringkali merugikan.

Sebetulnya, di sini para pemeluk faham pluralisme sekte salah perhitungan dan terjebak dalam sikap absolutisme yang arogan. Hal ini dapat diperjelas dengan beberapa alasan. Pertama, dapat dipastikan bahwa siapa pun tidak bisa lepas dari suatu nilai yang dianggapnya benar secara mutlak. Jadi, mereka yang mengajak setiap orang untuk keluar dari akidah yang mereka yakini, sebetulnya juga mengajak untuk masuk pada akidah baru yang bernama “pluralisme sekte”. Kedua, berdasarkan alasan pertama, maka keberadaan akidah merupakan perangkat yang paling mendasar dalam diri setiap penganut sekte. Jika perangkat ini hilang, maka seseorang tidak bisa dikatakan lepas dari setiap ideologi (akidah), sebab dapat dipastikan jika ia akan masuk pada ideologi baru yang diyakini kebenarannya secara mutlak. Jika tidak pada pluralisme sekte, maka ia akan masuk pada faham agnostisisme atau “tidak tahu-isme” (al-lâ adriyah).

Dengan demikian, para penganjur pluralisme sekte berupaya untuk keluar dari segenap ideologi, namun tanpa disadari ternyata ia masuk pada ideologi yang lain. Maka, keyakinan bahwa “hanya firqah dan kelompok saya yang benar” adalah hal yang fitrah dan karenanya tak perlu dirisaukan. Kita tinggal menunggu untuk membuktikan, apakah kebenaran itu mampu melewati seleksi dan mampu mengatasi ujian waktu atau tidak?

Kenyataan ini sesungguhnya telah membuyarkan mimpi kalangan yang “mendambakan” terjalinnya persatuan umat dengan cara mengikis habis warna-warna ideologis yang disandang masing-masing sekte dan golongan tadi. Sebab selain tidak mungkin dan absurd, dengan logika tadi, sejatinya kalangan ini hendak menarik setiap sekte untuk masuk pada ideologinya sendiri, yang diyakini kebenarannya secara mutlak. Sahingga yang terjadi di sini bukan ajakan untuk berjalan bersama, namun tetap pada konflik pemikiran dan ideologi yang terjadi sebelumnya. Artinya, penganjur “persatuan umat” yang memberikan solusi agar mengacuhkan keyakinan-keyakinan ideologis itu, sejatinya juga larut dalam peperangan ideologis dan pemikiran yang tengah terjadi. Ini adalah hal yang riil dan tidak bisa dipungkiri.

Alhasil, menciptakan persatuan, kebersamaan, kehidupan tenteram, dan suasana damai dalam dunia Islam, di samping keberagaman sekte yang selalu tarik-menarik dengan keyakinan akan “kebenaran” masing-masing, sejatinya bukanlah proyek yang tabu atau fiktif. Mengupayakan kemajuan dan kejayaan peradaban Islam di tengah kotak-kotak sekte, dengan tetap mempertahankan akidah, keyakinan, dan kebenaran versi masing-masing, adalah hal yang sangat mungkin dicapai, baik secara logis maupun historis. Justru adalah absurd, jika mimpi persatuan itu diharapkan muncul dari ranah yang memang berhadap-hadapan secara diametral. Bagaimana mungkin dapat dipersatukan jika standar yang mungkin dipakai untuk itu (akidah) juga berbeda? Tidakkah upaya sedemikian nantinya malah berbuah kekacauan akidah?

Maka, kesadaran akan perbedaan akidah ini, barangkali memang mengharuskan kita untuk mencari celah ukhuwah di ranah lain, yakni pada ranah non-teologis atau administratif. Bahwa dalam konteks pluralitas (bukan pluralisme) agama di Madinah pada masa Rasulullah saw, Islam menawarkan pendekatan non-teologis dalam rangka melakukan harmonisasi antara Islam dan non Muslim. Karena secara teologis, Islam sudah tuntas, final, dan tak perlu dilakukan pembahasan ulang, sehingga penyelesaian yang mendesak adalah penyelesaian praktikal administratif; bagaimana mengatur kehidupan bersama, berdampingan, saling membantu, dan kerjasama. Semua itu dilakukan di luar ranah teologis, dan aturan-aturan administratif itu diwujudkan dalam bentuk Piagam Madinah (Dustûr al-Madînah). Jadi, pada masa Rasulullah saw, Piagam Madinah mengatur hubungan antara umat beragama secara administratif, dan tak menyinggung masalah teologis sama sekali.

Maka, seperti halnya kenyataan akan pluralitas agama, pluralitas sekte dalam agama (Islam) juga membutuhkan toleransi, sehingga di sini, toleransi adalah suatu hajat bagi setiap individu sekte-sekte agama yang ada. Mereka tak mungkin eksis tanpa adanya toleransi, dan di sini, pemersatuan secara administratif (aspek non-teologis) adalah langkah yang paling mungkin untuk ditempuh dalam rangka memupuk toleransi dan harmoni antar-sekte tersebut. Namun yang perlu diperhatikan adalah, bahwa toleransi bukanlah pluralisme antar-sekte. Toleransi hanya sebatas menghargai mereka yang memiliki keyakinan lain dan tidak mengganggu hak-hak hidupnya.

Jadi secara historis, ukhuwah seperti itu sudah dibuktikan oleh sejarah, dengan keberhasilan Nabi Muhammad saw dalam membina masyarakat madani di Madinah, di tengah keberagaman agama: Islam, Yahudi, Kristen, Majusi, dll. Demikian pula halnya pada periode Khulafâ’ ar-Râsyidûn dan dinasti-dinasti Islam selanjutnya, seperti kegemilangan pemerintahan Islam di Spanyol, yang berhasil membangun peradaban yang paling unggul di Eropa di tengah keberagaman agama: Islam, Yahudi, dan Kristen. Nah, jika pada skala yang lebih besar (perbedaan antar agama) perdamaian dapat dicapai, maka secara logis, pada lingkup yang lebih kecil (perbedaan antar sekte), perdamaian, kemajuan, dan bahkan kejayaan peradaban Islam sangat mungkin untuk diraih. Allâhu al-Musta‘ân.

CATATAN UNTUK PRO-KONTRA HUKUM ROKOK



Tinjauan Sejarah
Rokok tidak dikenal dalam Islam awal. Konon, manusia pertama yang merokok adalah suku Indian di Amerika, sebagai ritual khusus memuja dewa atau roh. Di abad 16, saat Eropa menemukan benua Amerika, sebagian penjelajah ikut-ikutan mencoba menghisap rokok yang kemudian dibawa ke Eropa. Akhirnya, rokok menjadi tren di Eropa pada tahun 1492. Rodrigo De Jares mulai membuka pabrik rokok di Kuba, yang kemudian pada tahun 1556-1558 mulai diperkenalkan ke Prancis, Spanyol dan Portugal. Pada abad 17, para pedagang Spanyol masuk ke Turki, dan saat itu kebiasaan merokok mulai masuk ke negara-negara Islam.

Tinjauan Medis
Ijmâ’ (konsensus) dokter-dokter di seluruh dunia tentang rokok adalah: rokok membahayakan. Ada beberapa jenis racun yang membahayakan pada perokok. Di antara efek yang dumunculkan adalah penyakit kanker, jantung, pernapasan, pencernaan, gangguan kehamilan, dan emfisema. Peringatan Pemerintah yang tercamtum pada bungkus rokok mewakili efek-efek yang dimunculkan rokok.

Racun yang terkandung dalam rokok kurang lebih 4000 elemen-elemen, dan setidaknya 200 di antaranya dinyatakan berbahaya bagi kesehatan. Racun utama pada rokok adalah tar, nikotin, dan karbon monoksida. Tar adalah substansi hidrokarbon yang bersifat lengket dan menempel pada paru-paru. Nikotin adalah zat adiktif yang mempengaruhi syaraf dan peredaran darah. Zat ini bersifat karsinogen, dan mampu memicu kanker paru-paru yang mematikan. Karbon monoksida adalah zat yang mengikat hemoglobin dalam darah, membuat darah tidak mampu mengikat oksigen.

Sulitnya, ketika lingkungan sudah tercemari oleh asap rokok ternyata sangat berisiko terhadap perokok pasif. Sebuah riset di Inggris membuktikan bahwa lebih dari empat ribu orang Inggris terbunuh gara-gara menjadi perokok pasif setiap tahunnya. Angka ini membuat para ilmuan terhenyak dan memaksa profesionalisme kesehatan untuk memberlakuan larangan merokok di tempat-tempat hiburan, tempat-tempat umum maupun di kantor. Sebagian besar yang terkena kasus tersebut bukanlah perokok. Mereka hanyalah orang yang selalu berada di dekat perokok. Sekitar 3.000 orang meninggal dengan usia kurang dari 65 tahun dengan kangker paru-paru, penyakit jantung dan stroke.

Gambaran baru tentang angka-angka ini empat kali lebih tinggi daripada data sebelumnya. Menurut perkiraan sebelumnya, sekitar 1.000 orang di Inggris setiap tahunnya akan terbunuh hanya karena menghirup asap rokok. Ditambahkan lagi, lingkungan penuh asap rokok di pub, bar, restoran dan tempat umum lainnya benar-benar merusak pekerja serta orang lain.

Tinjauan Fikih
Terjadi perbedaan di kalangan fuqahâ’ (para pakar fikih) terkait dengan hukum rokok; haram, mubah, dan makruh. Perbedaan ini lebih didasari karena rokok memang tidak pernah dikenal di Islam awal. Apalagi dalam kalangan fikih terjadi perbedaan dalam menentukan hukum asal dari suatu perkara, apakah halal atau haram. Di antara ulama yang mengatakan mubah adalah Syekh Ali al-Ajhuriy al-Malikiy. Bahkan ia menulis sebuah risalah yang menghukumi halal rokok, yang di dalamnya memuat fatwa-fatwa ulama dari kalangan empat madzhab. Imam al-Babili mengatakan bahwa esensi merokok hukumnya halal, sedangkan keharamannya disebabkan hal eksternal. Syekh Sulthan al-Mazzahi juga mengatakan demikian, rokok tidaklah sampai haram bahkan tidak Makruh, dan pendapat ini diperkuat oleh Imam Sabramallisi.

Sayid Abdul Ghani an-Nablusiy juga menghukumi mubah. Ia menulis sebuah riasalah berjudul ash-Shulhu Baina Ikhwân fî Ibâhahati Syurbid-Dukhân. Di sini an-Nablusiy menyerang ulama yang menghukumi haram atau makruh. Ia menulis, “Haram dan makruh adalah hukum syariah yang keduanya harus memiliki tedensi yang kuat, dan tidak ada dalil yang jelas mengenai rokok. Sebab, sifat memabukkan dan membahayakan pada rokok masih subyektif. Bahkan di dalamnya juga terdapat manfaat bagi penggunanya.”

Senada dengan an-Nablusiy adalah asy-Syaukaniy dalam Irsyâdus-Sâ’il Ilâ Adilatil-Masâ’il. Karena tidak ada dalil yang jelas atas keharaman rokok, dan ia bukan benda yang memabukkan dan beracun, serta tidak membahayakan secara cepat atau lambat. Asy-Syaukani menulis, “Orang yang mengatakan rokok haram harus menampilkan argumennya dan tidak cukup hanya mengatakan kata ini dan itu.”

Pernyataan asy-Syaukani ini mendapat reaksi dan ditanggapi oleh Abul ‘Ala al-Mubarakfuri. Dalam Tuhfatul-Ahwadzi, al-Mubarakfuri mengatakan, memang betul bahwa asal dari setiap sesuatu adalah halal jika memang tidak ada dalil yang melatarinya. Akan tetapi jika memang benda itu memiliki dampak negatif secara cepat atau lambat, tentunya masalahnya lain. Kenyataannya, orang yang makan tembakau dan menghisap asapnya memiliki reaksi negatif yang cepat. Bahkan, al-Mubarakfuri menantang orang yang ragu tentang hal itu dengan disuruh memakan seperempat dirham atau seperenam dirham tembakau. Kemudian lihatlah reaksinya, bagaimana kepalanya akan mumet, pandangannya akan kabur dan tidak akan mampu mengerjakan sesuatu. Ia tak akan bisa berdiri atau berjalan. “Ini menjadi bukti jelas bahaya tembakau, tanpa diragukan lagi,” tulis al-Mubarakfuri.

Setidaknya, al-Mubarakfuri mewakili ulama yang mengatakan rokok adalah haram. Di antara Imam yang juga keras memfatwakan haram adalah al-Qurthb Sayid Abdullah al-Haddad dan Allamah Ahmad al-Hadwan. Begitu juga al-Quthb Ahmad bin ‘Umar bin Smith dan lainnya. Al-Habib al-Imam al-Husain bin asy-Syekh Abi Bakr bin Salim sangat melarang merokok. Beliau berkata, “‘Aku khawatir para perokok yang tidak mau bertaubat sebelum meninggalnya mati dalam keadaan sû’ul khâtimah.”

Hukum tengah dari dua kontrofersi ini adalah makruh, dan menurut Syekh Isma’il Zain yang mu’tamad di kalangan Syafi’iyah adalah Makruh Tanzîh. Setidaknya, mewakili ulama yang mengatakan hukum ini adalah Abu Sahal Muhammad bin al-Wa'idz al-Hanafi. Adapun alasan atas kemakruhan rokok lebih disebabkan hal-hal yang dimunculkan dari rokok, seperti bau tidak sedap, dapat melalaikan kepada ibadah dan menggunakan harta pada hal yang kurang bermanfaat. Al-Wa’idz kemudian berkomentar, “Dalil tentang kemakruhan rokok adalah qath'î (pasti), sedangkan dalil tentang keharamannya masih dzanni (spekulatif). Semua yang berbau tidak sedap adalah makruh. Bawang dan rokok termasuk di dalamnya.”

Meski ulama berbeda pandangan antara halal dan haram, dan itu memang merupakan realita di kalangan madzhab empat, tapi jika ternyata penggunaan rokok menyebabkan terjadinya mudharat pada akal atau badan pemakainya, maka merokok haram baginya, sebagaimana haramnya madu bagi penderita panas yang dapat membahayakan pada tubuhnya. Dan, jika dijadikan obat, maka hukumnya boleh, bahkan bisa jadi sunat, sebagaimana berobat dengan benda najis.

Tinjauan Etika
Mungkin sementara waktu kita memiliki pandangan sesuai dengan khilafiyah di kalangan ulama, sehingga kita bisa beralasan mengikuti ulama yang menghukumi mubah. Namun ada sisi lain yang juga perlu diperhatikan ketika menyangkut hak orang lain yang mungkin terganggu dengan kepulan asap rokok yang dihembuskan. Dalam hal ini, menyakiti orang lain tentunya tidak ada kaitannya dengan hukum mubah menghisap rokok. Apalagi riset medis jelas membuktikan bahaya bagi perokok pasif.

Maka, sangat tepat sikap tegas pemerintah atas pelarangan merokok di tempat-tempat tertentu karena ada maslahah yang bersifat umum. Kejadian seperti ini pernah terjadi di Mesir. Wakil Presiden Mesir melarang rakyatnya untuk merokok di jalan umum dan kafe. Ternyata banyak orang yang menyalahai aturan pemerintah itu. Asy-Syarwaniy menghukumi wajib taat pada perintah imam yang melarang menghisap rokok di tempat-tempat tertentu. Asy-Syarwaniy menghukumi durhaka (‘âshin) terhadap orang yang menyalahinya perintah tersebut. Demikian pula menurut al-Bujairamiy. Sebab, dalam pelarangan itu ada kemaslahatan umum.

Terlebih lagi, meski dalam fikih rokok dikenal khilâf, tapi pandangan etika ada beberapa catatan yang harus diperhatikan. Sebab, ulama juga sepakat bahwa merokok bisa melahirkan hukum haram disebabkan faktor eksternal. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Syekh Isma’il Utsman Zain, di antara faktor yang menyebabkan haramnya merokok adalah berada di depan orang yang membaca al-Qur’an, Hadits Nabi, di masjid, majlis ilmu atau di tempat-tempat yang dinilai sû’ul adab jika merokok.

Rabu, 25 November 2009

Mengkonversi Sistem Pemerintahan (Pengantar Diskusi Seputar Khilafah)

Dari sudut pandangan agama, pemerintahan Indonesia adalah sah. Pandangan ini didasarkan pada dua dalil. Yaitu: pertama, presiden Indonesia dipilih langsung oleh rakyat. Menurut Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wan Nihayah (2001:204), sistem pemilihan langsung oleh rakyat sama dengan pengangkatan Sayyidina Ali karamullah wajhah untuk menduduki jabatan Khalifah.

Kedua, presiden terpilih Indonesia dilantik oleh MPR, sebuah gabungan dua lembaga tinggi, DPR dan DPD yang dapat disepadankan dengan ahlu a-halli wa al-‘aqdi dalam konsep al-Mawardi dalam Al-Ahkam as-Sulthoniyah.

Keabsahan pemerintahan Indonesia bukan hanya dapat dilihat dari sudut sistem pemilihan dan mekanisme pelantikan presiden saja, namun juga bisa dilihat dari terpenuhinya maqashidu al-syari’ah (tujuan syar’i) dari imamah (pemerintahan) Indonesia, dalam rangka menjaga kesejahteraan dan kemashlahatan umum. Terkait dengan ini, Imam al-Ghazali mengungkapkan dalam Al-Iqtishad fil ‘Itiqad (1988:147), menyatakan, “Dengan demikian tidak bisa dipungkiri kewajiban mengangkat seorang pemimpin (presiden) karena mempunyai manfaat dan menjauhkan mudharat di dunia ini”.

Dalam konteks ini, pemerintahan Indonesia telah memenuhi tujuan syar’i di atas dengan adanya institusi pemerintahan, kepolisiaan, pengadilan dan lain sebagainya. Alhasil, menurut Ahlussunnah wal Jama’ah, pemerintahan Indonesia adalah pemerintah yang sah. Siapa pun tidak bisa mengingkarinya.

Karena itu, mengkonversi sistem pemerintahan dengan sistem apa pun, termasuk sistem khilafah sentral dengan memusatkan kepemimpinan umat Islam di dunia pada satu pemimpin, adalah tidak diperlukan. Apalagi jika konversi sistem itu akan menimbulkan mudharat yang lebih besar. Seperti timbulnya chaos dalam bidang sosial, politik, ekonomi dan keamanan. Lantaran, timbulnya kevakuman pemerintahan atau pemerintah yang tidak mendapatkan dukungan rakyat luas, sehingga membuka peluang perang saudara antar anak bangsa. (Imam al-Ghazali Al-Iqtishad Fil ‘Itiqad, 1988:148)

Terlebih, mendirikan khilafah mendunia terbantahkan oleh dalil-dalil berikut ini: Pertama, khilafah mendunia tidak memiliki akar dalil syar’i yang qath’i. Adapun yang wajib dalam pandangan agama, adalah adanya pemerintahan yang menjaga kesejahteraan dan kemashlatan dunia. Terlepas dari apa dan bagaimana sistem pemerintahannya. Karena itu, kita melihat para ulama di berbagai negara di belahan dunia memperbolehkan, bahkan tak jarang yang ikut terlibat langsung dalam proses membidani pemerintahan di negaranya masing-masing. Beberapa contoh kasus dari sistem pemerintah di jaman klasik, antara lain: Daulah Mamalik di Mesir, Daulah Mungol di India, Daulah Hafshiyyah di Tunis, dan lain sebagainya.

Kedua, persoalan imamah dalam pandangan Ahlussunnah wal Jama’ah bukanlah bagian dari masalah aqidah, melainkan termasuk persoalan siyayah syar’iyyah atau fiqih mu’amalah. Karena itu, kita boleh berbeda pendapat dalam soal sistem pemerintahan, sesuai dengan kondisi zaman dan masyarakatnya masing-masing dalam mempertimbangkan mashlahah dan mafsadah dari sistem yang dianutnya tersebut.

Ketiga, membentuk pemerintahan agama di suatu daerah, akan membunuh agama itu sendiri di daerah lain. Menegakkan Islam di suatu daerah di Indonesia, sama halnya dengan membunuh Islam di daerah-daerah lain seperti di Irian Jaya, di Flores, di Bali dan lain sebagainya. Daerah basis non Islam akan menuntut hal yang sama dalam proses penegakkan agamanya masing-masing. Bentuk negara nasional adalah wujud kearifan para pemimpin agama di Indonesia, tidak ingin terjebak pada institusionalisasi agama, sebagai tuntutan dari otonomi daerah.

Keempat, masyarakat masih belum siap benar untuk melaksanakan syari’at Islam secara penuh, terutama untuk menerapkan hukum pidana Islam. Seperti bagi pezinah dirajam, pencuri dipotong tangan, sanksi bagi yang tidak melaksanakan sholat dan zakat, dan seterusnya. Penerapan syari’ah Islam secara penuh tanpa mempertimbangkan kesiapan umat Islam akan menyebabkan banyak umat Islam yang tidak mengakui sebagai seorang muslim karena takut terhadap sanksi hukum tersebut. Jumlah 90 persen umat Islam akan mengalami penurunan secara drastis. Sehingga penerapan itu justru merugikan umat Islam sendiri.

Kelima, sulitnya mencari tolok ukur apakah yang dilakukan oleh seorang khalifah itu merupakan suatu langkah politik atau sekedar pelampiasan ambisi kekuasaan, atau itu memang benar-benar melaksanakan perintah Allah ketika terjadi kekerasan dari khalifah yang berkuasa terhadap para ulama sebagaimana dialami oleh imam madzhab yang empat: Imam Maliki, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hanbal dan para pengikut mereka. Sejarah mencatat tidak sedikit dari para ulama yang mendapat perlakuan zalim, diborgol, dipenjara, dan dianiaya, sementara khalifah dalam menjalankan hukuman tersebut melakukannya atas nama agama. Jika demikian yang terjadi maka sudah pasti ulama nahdliyyin akan memenuhi penjara-penjara di seluruh wilayah Indonesia.

Keenam, jika memang disepakati ide formalisasi syari’ah, maka teori syari’ah manakah yang akan diterapkan.Apakah model Wahabi di Saudi Arabia yang memberangus ajaran-ajaran sebagaimana diamalkan oleh kaum nahdliyyin seperti tawassul, tahlil, talqin, dan lain sebagainya atau sistem Syi’ah yang telah membunuh ratusan ulama dan umat Islam, menghancurkan masjid-masjid Ahlus Sunnah sebagaimana yang terjadi di teluk Persi, di bagian wilayah Timur Tengah, atau belahan lain di dunia ini, dan pemerintah yang berkuasa melakukan semua itu, lagi-lagi, atas nama agama. Jika itu yang terjadi, niscaya warga Nahdliyyin akan akan menjadi korban dari pemerintah yang berbeda aqidah tersebut.

Dalil-dalil di atas kian meyakinkan bahwa cita-cita untuk mendirikan khilafah islamiyah akan membawa konsekuensi tersendiri bukan hanya menyangkut tampilan wajah Indonesia tetapi juga kondisi masyarakat yang akan diwarnai oleh konflik dan disistensi dari elemen bangsa yang lain.

Dengan mempertimbangkan pendapat dari Imam al-Ghazali dan al-Baidlawi maka mengkonversi sistem pemerintahan yang ada tidak diperbolehkan menurut syara’, mengingat besarnya ongkos sosial, politik, ekonomi, dan keamanan yang harus ditanggung oleh pemerintah dan masyarakat. Dalam pandangan ahlusunnah wal jama’ah menghindari mudharat lebih utama dari pada menerapkan kebaikan. Karena itu, menghindari mudharat yang besar lebih kita utamakan dari pada mendapat sedikit kemaslahatan. Sebaliknya, tidak mendapatkan sedikit kebaikan untuk menghindari mudharat yang lebih besar merupakan sebuah bentuk kebaikan yang besar.

Jadi, sistem pemerintahan di dalam pandangan agama bukan sistem untuk sistem melainkan sistem untuk umat. Sehingga sistem apapun yang dianut oleh umat di dalam memenuhi tujuan syar’i dari pemerintahan tidak boleh menimbulkan kerusakan yang mengancam keselamatan jiwa dan harta umat. Sebab sejatinya menurut Imam al-Ghazali, pemerintahan itu didirikan untuk menata umat, agar kehidupan agama dan dunianya aman sentosa dari ancaman dari dalam maupun dari luar (Al-Iqtishad Fil ‘Itiqad, 1988:147).

Senada dengan Imam al-Ghazali di atas, al-Baidlawi juga berpandangan bahwa esensi dari pemerintahan adalah menolak kerusakan dan kerusakan itu tidak dapat ditolak kecuali dengan pemerintahan tersebut. Yaitu sebuah pemerintahan yang menganjurkan ketaatan, mencegah kemaksiatan, melindungi kaum mustad’afin, mewujudkan kesejahteraan dan keadilan bagi semua. Esensi dari pemerintahan itu menurutnya adalah keharusan profetik dan intelektual dalam menjaga kedamaian dan mencegah kerusakan dunia (Lihat misalnya dalam Al-Baidlawi, Thawali’ al-Anwar wa Mathali’ al-Andlar, 1998: 348).

KH Muhyidin Abdusshomad Penulis buku “Fikih Tradisionalis”, Ketua PCNU Jember

Diskusi Seputar Khilafah 2 (Tanggapan atas Tanggapan)

Alhamdulillah, saya senang sekali banyak yang memberikan respon pada artikel saya berjudul “Mengkonversi Sistem Pemerintahan (Pengantar Diskusi Seputar Khilafah)”. Saya tentu lebih senang lagi apabila para pemberi komentar menulis nama dan alamatnya dengan lengkap agar di antara kita bisa terus bersilaturrahmi. Tidak perlu menggunakan nama samaran agar tidak terkesan takut menyampaikan kebenaran. Jika kita benar kenapa harus takut? Sebagai seorang muslim yang beriman, yang harus kita takuti hanyalah Allah SWT semata.

Beragam pemikiran yang telah disampaikan dalam komentar, walaupun sebahagian berbentuk pertanyaan namun pada hakikatnya adalah pemikiran yang sangat cerdas dan cemerlang baik yang pro maupun yang kontra. Bagi yang sejalan dengan pemikiran saya tentu tidak perlu saya respon dan saya mengucapkan terima kasih atas aplusnya, sedangkan yang masih belum sepaham, mari kita lanjutkan berdiskusi.

Saya salut dengan ghirah islamiyahnya beberapa saudara kita sehingga seolah-olah apa yang sudah diterapkan pada permulaan zaman khilafah bersumber dari sistem atau hukum Islam 100%, tidak pernah mengadopsi secuilpun hukum asing yang kufur. Tidak ada hukum atau teori lain yang terinfiltrasi ke dalam sistem pemerintahan khilafah.

Kalau saja kita mau jujur dan bersabar membaca referensi klasik seperti Adab Al-Kabir dan Adab Ash-Shaghir karya Ibn Al-Muqaffa’ (adab disini berarti tata pemerintahan) atau kitab Khudainamah /Siyar Muluk terjemahan Ibnul-Muqaffa’ tentang cerita raja-raja persia, Al-Bidayah wan Nihayah karangan Ibnu Katsir , Al-Kaamil fit-Tarikh karya Ibnu Al-Atsir, dan kitab-kitab sejarah yang lain bahwa sejak zaman para sahabat r.a. banyak sekali sistem dari luar lingkungan Islam yang kemudian diadopsi oleh sistem khlilafah seperti sistem diwan yang digunakan oleh Sayyidina Umar r.a. untuk administrasi negara, itu berasal dari persia, sistem wizarah (kementrian), hijabah (protokoler), dan sistem-sistem lain umumnya itu berasal dari Persia, Romawi, Arab kuno, dan lain-lain.

Jika memang benar-benar semua bagian sistem yang digunakan oleh para khalifah itu berasal dari Islam sendiri, tentu kita pasti bisa menemukan di dalam Al-Qur’an dan al-Hadits, bahwa sistem pemerintahan yang diridahi Allah SWT itu bagaimana, serta tata cara pemilihan khalifah seperti apa. Ternyata keterangan itu, tidak kita temukan, yang ada hanya hasil ijtihad para ulama atau interpretasi dari teks Al-Qur’an ataupun as-Sunnah bukan teks itu sendiri yang bisa saja masih interpretible. Jika memang ada tek Al-Qur’an dan al-Hadist yang menerangkan model khilafah mendunia tolong ditunjukkan!

Selanjutnya untuk beberapa saudara saya, barangkali lebih tepat tidak menggunakan istilah kufur, sebutlah saja dengan istilah kovensional, sistem madani, atau sistem umum. Jika semua yang dari luar Islam dianggap kufur, bagaimana dengan apa yang sedang kita lakukan saat ini, yaitu berkomunikasi melalui internet. Setujukah anda? Anda menyatakan bahwa kita sedang berkomunikasi dengan cara yang kufur? Karena yang menciptakan komputer, internet, dan lain sebagainya itu adalah orang-orang Non Muslim bahkan Yahudi.

Ikhwan dan akhwat HTI yang saya hormati. Kalau kita membuka lembaran sejarah di dalam piagam Madinah sebagai Dustur Negara Madinah di situ tidak tertera ungkapan bahwa negara berasaskan Al-Qur’an dan al-Hadits (syariat Islam). Yang ada hanya penjelaskan bahwa baik orang Islam atau Yahudi dan Non Muslim yang lain semua adalah umat yang harus menjalankan kewajiban dan menerima persamaan hak kewarganegaraan sama-sama membela negara dari serangan musuh dan sama-sama mendapatkan sanksi jika melanggar sesuai dengan kesepakatan. Subhanallah, Nabi Muhammad SAW itu memang negarawan ulung. Bahwa menurut beliau ada urusan duniawi dan ukhrawi, urusan duniawi ini diserahkan kepada ahlinya antum a’lamu bi umuri dunyakum, tapi negara tetap dinahkodai oleh nilai agama yang esensial dan prinsipil.

NU mentauladani sunnah politik Nabi Muhammad SAW berdasarkan contoh dari Nabi SAW, para sahabat, dan Ulama yang diikuti oleh kaum ahlussunnah tidak terlalu memusingkan sistem pemerintahan dan negara, terserah mau pakai kerajaan terpusat, multi nation, multi dinasti dan lain-lain, tetapi syariat tetap harus diterapkan secara damai, bertahap, tanpa harus dipaksakan dan sesuai dengan kesepakatan anak bangsa.

Maka dari itu, setiap negara yang mayoritas penduduknya muslim menganut sistem fiqih yang berbeda –beda yang disepakati anak bangsa atau keputusan negara, ada yang Hanafi, Syafii, Hanbali dan Maliki. Ulama Indonesiapun termasuk NU memperjuangkan eksistensi peradilan agama dan kementrian agama untuk mengurusi masalah keislaman, bahkan tak sedikit kader NU yang menjabat kepala Kantor Urasan Agama, Kakandepag, Kepala Pengadilan Agama, Kanwil Depag bahkan ada yang menjadi menteri agama.

Tentang pernyataan bahwa “negara akan aman, terentaskan dari kemiskinan, menghilangkan kejahatan dan lain-lain, jika menganut sistem khilafah (Syariah Islam), dengan penuh kerendahan hati,” terpaksa saya ajukan pertanyaan begini: Benarkan sistem khilafah itu menjamin keamanan negara? Sementara dalam catatan sejarah pada masa sayyidina Abu Bakar RA, Sayyidina Usman RA dan Sayyidina Ali RA terjadi kekacauan politik yang luar biasa (chaos).

Bisakah dikatakan aman suatu negara apabila kholifah atau presidennya mati terbunuh ditangan lawan politiknya, lihat saja sayyidina Umar RA wafat tertusuk pedang oleh Abu Lu’luk al-Majusi, sayyidina Usman RA wafat terbunuh sebagai syahid ditangan ribuan demonstran yang menuduh beliau melakukan nepotisme, sayyidina Ali RA wafat sebab tikaman belati oleh Abdurrahman Ibnu al-Muljam yang sebelumnya terjadi dua kali perang saudara yaitu Perang Jamal dan Perang Siffin yang telah menelan ribuan korban sahabat nabi wafat sebagai syuhada karena membela ijtihadnya masing-masing?

Di masa sayyidina Umar terjadi fase kemiskinan dan kelaparan yang dahsyat sampai dihentikan hukum potong tangan, belum lagi cucu Rasulullah SAW Sayyidina Hasan RA, yang sangat kita cintai diduga wafat karena diracun oleh lawan politiknya, begitu juga Sayyidina Husain RA meninggal sebagai syahid dengan sangat mengenaskan karena didzalimi oleh lawan politiknya yang sampai saat ini masih terasa traumatik kesejarahannya. Pembunuhan sayyidana Husaen RA tersebut juga dilakukan oleh Khalifah yang mengatasnamakan syariat Islam dan berdasarkan hadits. Idza buyi’a likhalifataini faqtul al-akhar minhuma (apabila telah dibai’at dua orang khalifah bunuhlah salah seorang di antara keduanya) (HR Muslim No 3444).

Riwayat di atas semakin meneguhkan hati saya bahwa dari catatan sejarah sistem apapun tidak akan menhilangkan kejahatan secara total. Yang wajib bagi kita ialah amar ma’ruf nahi munkar dan implementasinya sesuai dengan hasil ijtihadnya masing-masing, begitu juga mengentaskan kemiskinan dan lain sebaginya yang penting itu bukan sistem tapi supremasi hukum atau penegakkan hukum.

Bagi saya Hulafa’ Al-Rurrasyidun itu tidak bersalah karena mereka semua mujtahid yang berusaha menegakkan hukum semampu mereka dalam pilihan ijtihat yang tegas, jelas dan memperhatikan kemaslahahatan. Sudah barang tentu hukum itu harus ditegakkan bukan diganti, maka NU terus berusaha menegakkan hukum ini sesuai dengan kemempuan ijtihadnya. NU pun mengkampanyekan jihad melawan korupsi, mencerdaskan umat Islam dengan mendirikan pesantren dan sekolah bahkan sampai perguruan tinggi yang berjumlah ribuan lembaga sepanjang untaian kepulauan nusantara. Di dalamnya dikaji Al-Quran dan al-Hadits beserta ilmu-ilmu yang melengkapinya, ikhtiar mengamalkannya secara optimal dimulai dari sholat berjmaah, meninggalkan maksiat dan berakhlaqul karimah.

Dalam amar ma’ruf nahi mungkar NU menggunakan cara pendekatan psikologis mendekati para napi, bromocorah, PSK untuk diajak bertobat kepada Allah SWT, mengkampanyekan anti mo-limo: madon, madat, maling dan lain sebagainya. Sistem apapun tidak mungkin menghilangkan kejahatan manusia, sebab fitrah manusia itu memang bisa berbuat salah dan sebagai buktinya ialah Allah SWT menyediakan neraka walaupun juga menyediakan surga.

Menurut saya ini adalah tantangan bagi kita untuk beramar makruf nahi munkar dan berdakwah sembari mencari strategi yang efektif demi tumbuh kembangnya Islam dan pemancangan akarnya yang kokoh di atas bumi sembari menyadari bahwa kita hanya berusaha dan Allah jua yang menentukan. Innaka la tahdy man ahbabta walakinnallaha yahdy man yasya’ (Al-Qashash: 56). Kejahatan itu bukan sesuatu yang perlu ditakutkan, tapi didekati dengan mauidhah hasanah dan mujadalah billaty hiya ahsan. Walau kunta Fadhdhan gholidhal qolbi lan fadhdhu min haulik (Ali Imran: 159). Kalau engkau keras, orang-orang yang kamu dekati akan lari, jadi harus lembut. Pelan tapi pasti. Basysyiru wa la tunaffiru (HR. Bukhari No 67). Berilah mereka kabar gembira, jangan buat mereka lari. Inilah prinsip ahlussunnah yang dipegang NU.

Tentang pernyataan bahwa pemilihan presiden yang dianggap hanya berdasarkan pada hukum manusia dan khilafah berdasarkan kepada hukum syara’, bukankah khalifah Abu Bakar RA dan Ali RA itu dipilih oleh rakyat sebagaimana wa amruhum syura bainahum (dan persolan mereka dimusyawarahkan di antara mereka pula), lantas apa perbedaannya kalau dalam realita sama-sama dipilih oleh rakyat?

Tentang pernyataan bahwa sistem DPR, DPD yang dianggap sistem kufur, saya kira ini keterlaluan, dan yang menyatakan itu sepertinya merasa menjadi hakim dalam menkafirkan orang. Padahal ketua MPR DPR DPD itu orang baik-baik, baik yang periode ini maupun periode sebelumnya, bahkan untuk ketua DPD, KH. Mahmud Ali Zain, Saya pernah berkumpul dengan beliau selama tujuh tahun. Dalam penilaian saya, beliau itu termasuk orang shalih, baik ibadahnya yang komplit mulai dari yang wajib sampai yang sunnah atau semangat juangnya yang terus berkobar hingga saat ini. Beliau memperjuangkan kemajuan Pondok Pesantren di Indonesia. Saya sebagai orang yang sama-sama tahu dari segi pengamalan keagamaannya. Dan setahu saya tugas-tugas lembaga tersebut adalah tugas mulia yang tidak bertentangan dengan Islam jika ada oknum yang tidak menjalankan tugas dengan baik tentu tidak bisa di generalisasi terhadap semua lembaga tersebut

Tentang harapan diadakannya dialog, alangkah bahagianya andaikata yang mulia Ustadz Ismail Yusanto (Jubir HTI) berkenan hadir dan berdiskusi dengan kami dan teman-teman kami di Lembaga Bahtsul Masail PCNU Jember sambil duduk santai, minum teh hangat dan menikmati kurma ajwah (buah kurma yang konon pohonnya ditanam langsung oleh Rasulullah SAW), dan membuka kitab-kita tafsir dan hadits dengan pikiran jernih. Kami dengan senang hati dan tangan terbuka akan menyambut beliau dengan penuh kehangatan sebagai ikhwan sesama muslim. Mari kita lanjutkan. Saya selalu menungu respon dari semuanya.

KH Muhyiddin Abddusshomad
Penulis buku "Fiqih Tradisionalis" dan Ketua PCNU Jember

Selasa, 24 November 2009

Kerancuan Pemikiran Hizbut Tahrir

Tidak jarang apabila Anda memasuki masjid-masjid di perkotaan, atau instansi-instansi publik seperti kantor pos dan lain-lain, Anda akan menemukan selebaran putih yang dibagikan secara gratis, dengan logo biru bertuliskan AL-ISLAM, dan tulisan artikel di bawahnya dengan tinta hitam. Buletin dakwah –demikian mereka menyebutnya-, yang terbit setiap hari Jum'at itu diterbitkan oleh saudara-saudara kita yang tergabung dalam organisasi politik Islam transnasional Hizbut Tahrir, yang di Indonesia dikenal dengan sebutan HTI.
Dari penampilan dan sikap aktifis-aktifis HTI, rata-rata mereka memiliki etika yang halus, tutur sapa yang lembut dan sopan, nada bicara dan retorika yang bagus dalam presentasi dan berargumentasi, memiliki militansi dan ghirah yang hebat terhadap Islam, cita-cita dan kesadaran yang tinggi untuk menegakkan penerapan syariat Islam dalam segala lini kehidupan, dan tentu saja –yang terpenting menurut mereka- tegaknya khilafah Islam sebagai sistem pemerintahan yang dianut kaum Muslimin. Demikian kira-kira ciri khas yang tidak jarang dimiliki aktifis HTI yang rata-rata terdiri dari kalangan terpelajar dan cerdas.
Meskipun demikian, organisasi politik yang didirikan oleh Taqiyuddin al-Nabhani (1909-1979) ini, hingga saat ini masih menghadapi berbagai rintangan dalam memperjuangkan cita-citanya, terutama dari ormas-ormas Islam lain yang terus berupaya menghalau laju pergerakan HTI, yang kian hari masih terus diminati oleh masyarakat kampus di berbagai perguruan tinggi. Di negara-negara Arab sendiri, HT relatif tidak berkembang, bahkan perkembangannya jauh lebih subur di Indonesia.
Dan sudah barang tentu, keberatan ormas-ormas Islam lain seperti Nahdlatul Ulama, terhadap HTI bukan tanpa alasan. Mereka memiliki alasan-alasan yang kuat yang patut dipertimbangkan dengan pikiran yang jernih dan disadari dengan hati nurani yang paling dalam, terutama oleh kaum HTI sendiri. Setidaknya berikut ini akan dikemukakan beberapa hal perbedaan HTI dengan kaum Muslim Indonesia:
Pertama, ideologi dan pola pikir HTI, berbeda dengan ideologi dan pola pikir mayoritas Muslim di Indonesia. Selama ini mayoritas Muslim di negeri ini memperjuangkan dan menganut faham Ahlussunnah Wal-Jama'ah dalam ideologi dan mengikuti pola pikir bermadzhab dalam amaliyah sehari-hari. Sementara al-Nabhani –pendiri HTI- dalam kitab-kitab yang ditulisnya sebagai rujukan pergerakan HTI, memiliki pandangan yang berbeda. Dalam ideologi tidak menganut Ahlussunnah, dalam furu' tidak bermadzhab. Perbedaan ideologi dan pola pikir HTI dengan mayoritas Muslim lain di negeri ini sudah barang tentu akan membuat perpecahan baru di kalangan Muslim antara HTI dengan yang lain, sehingga bukan mempermudah tegaknya khilafah dan kesatuan umat, tetapi akan menggerus ukhuwah Islamiyah sesama Muslim. Dengan pola pikir anti madzhab ala HT, akan dapat pula memutus hubungan kaum Muslimin dengan pendahulunya yang bermadzhab pada saat-saat khilafah masih ditegakkan.
Kedua, sejak dulu kala kaum Muslim Indonesia meyakini bahwa rukun iman jumlahnya ada enam. Yaitu mempercayai adanya Allah, Malaikat, kitab-kitab Allah, rasul-rasul Allah, hari pembalasan dan qadar (kepastian) Allah, yang baik dan yang buruk. Tetapi HTI, sebagaimana ditegaskan oleh al-Nahbani dalam al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah (1/43), meyakini bahwa rukun iman seorang Muslim hanya ada lima, yaitu selain qadha' dan qadar Allah.
Ketiga, Ahlussunnah Wal-Jama'ah meyakini dan mengikuti metodologi ta'wil terhadap ayat-ayat al-Qur'an yang dianggap mutasyabihat. Penakwilan terhadap ayat-ayat mutasyabihat ini telah diajarkan oleh sahabat dan ulama salaf yang saleh seperti Ibn Abbas, Sufyan al-Tsauri, al-Bukhari, Ahmad bin Hanbal, al-Thabari, Ibn Hibban dan lain-lain. Sementara al-Nabhani dalam kitab al-Syakhshiyyah (1/53) berpandangan, bahwa ta'wil itu sebenarnya berasal dari ahli kalam sejak awal abad keempat Hijriah, bukan dari ulama salaf yang saleh. Sudah barang tentu, pernyataan al-Nabhani ini murni kebohongan dan pemalsuan yang tidak selayaknya dimiliki oleh kaum yang mengklaim bercita-cita mendirikan negara Islam atas nama khilafah. Pantaskah kelompok yang mengklaim menegakkan khilafah Islamiyah berbohong?
Keempat, al-Nabhani dalam kitab al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah (1/70) berpandangan bahwa seluruh ulama Ahlussunnah Wal-Jama'ah sejak dulu hingga sekarang telah gagal alias tersesat dan menyesatkan umat dalam menjelaskan persoalan qadha' dan qadar, sehingga al-Nabhani menilai Ahlussunnah Wal-Jama'ah itu sebenarnya aliran Jabariyah. Pernyataan al-Nabhani yang secara terus terang menohok seluruh ulama panutan umat ini sangat tidak pantas dan tidak layak diikuti. Pernyataan tersebut menggambarkan kesombongan al-Nabhani, yang beranggapan dirinya lebih pandai dan lebih alim daripada seluruh ulama yang ada sebelumnya. Bahkan ia menganggap seluruh ulama telah tersesat. Padahal berdasarkan ijma' ulama, orang yang berpandangan dengan suatu pendapat yang berimplikasi pada penilaian sesat terhadap seluruh umat adalah kafir secara definitif. Na'udzu billah min dzalik.
Kelima, al-Nabhani (1/74) berpandangan bahwa pemaknaan qadha' dan qadar seperti yang terdapat dalam seluruh kitab Ahlussunnah Wal-Jama'ah adalah nihil dan dibuat-buat oleh ahli teolog (mutakallimin). Pernyataan al-Nabhani ini termasuk kebohongan murahan, karena para ulama Ahlussunnah Wal-Jama'ah memberikan pemaknaan qadha' dan qadar dalam kitab-kitab mereka didasarkan pada dalil-dalil al-Qur'an dan al-Sunnah. Justru pernyataan al-Nabhani yang membebek terhadap Mu'tazilah, yang anti qadha' dan qadar, telah keluar dari ajaran al-Qur'an dan Sunnah. Dalam hadits riwayat Abu Dawud, al-Baihaqi, al-Hakim dan lain-lain disebutkan, al-Qadariyyah Majus Hadzihi al-Ummah (kelompok Qadariyah –aliah Mu'tazilah dan HT-, adalah sama dengan penganut Majusi dalam umat ini).
Keenam, al-Nabhani dan petinggi-petinggi HT yang lain, tidak jarang mengeluarkan fatwa-fatwa kontroversial dan melenceng dari ajaran Islam, seperti fatwa bolehnya berjabatan tangan antara laki-laki dan perempuan yang bukan istri dan bukan mahram. Sudah barang tentu fatwa ini tidak akan memudahkan tegaknya syariat Islam, bahkan menjadi jalan mulusnya dekadensi moral pemuda Muslim yang semakin hari memang semakin jauh dari nilai-nilai agama akibat serangan budaya Barat yang menerjang negara-negara Muslim. Bahkan lebih jauh lagi, sebagian petinggi HT ada yang berfatwa bolehnya ciuman laki-laki dengan perempuan bukan istri dan bukan mahram, seperti dalam selebaran yang pernah disebarkan HT di Lebanon pada awal-awal berdirinya HT.
Demikian beberapa contoh pandangan-pandangan kontroversial al-Nabhani dan HT yang berbeda dengan ideologi dan ajaran kaum Muslimin di dunia. Hal tersebut harus menjadi pertimbangan bagi saudara-saudara Muslim yang masih aktif di HTI, agar segera bertaubat, keluar dari HTI dan kembali ke pangkuan ajaran Islam yang benar, agar tidak termasuk, "orang-orang yang Telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya." (QS. al-Kahf:104). Wallahul muwaffiq.